part 39

4.5K 329 7
                                    

Bismillah

Pocong Itu Bapakku

#part 39

#R.D.Lestari.

Bapak Sintia membuka tirai jendela dan mengintip keluar. Dia terhenyak saat melihat beberapa orang laki-laki sedang berdiri di luar seraya menenteng sesuatu di tangannya.

Segera, bapaknya Sintia menggeser tubuh dan membuka pintu.

"Pak RT, kebetulan sekali, Pak. Saya butuh bantuan Bapak," tukas lelaki paruh baya itu seraya mempersilahka Pak RT dan Pak Ustad beserta Umar untuk masuk.

Gurat kecemasan begitu terekam jelas di wajah tua keriputnya, begitupun dua wanita yang mendekat.

"Tolong, Pak, menantu Saya pingsan di dapur, butuh mobil untuk membawanya ke Rumah Sakit," paparnya saat tiga orang itu sudah berada di dalam rumah.

"Oh, iya, Pak. Kalau begitu ... Saya akan pulang sekarang untuk bawa mobil kesini," Pak RT melesat begitu saja, keluar rumah dan pergi menuju rumahnya.

Sedang Pak Ustad dan Umar membantu mengangkat tubuh Karno ke sofa depan sembari menunggu datangnya mobil Pak RT.

Ditengah dinginnya angin malam yang menusuk, Pak RT Johan menembus pekatnya malam. Hujan rintik-rintik menemani perjalanan menuju rumahnya yang berjarak cukup jauh dari rumah Karno.

Napasnya memburu dan tersengal, menepiskan rasa lelah dan takut yang menyergap.

Kakinya bergerak bergantian, diantara deru napas yang berhembus kencang.

Pandangannya fokus ke arah jalan yang terasa panjang dan tak berujung. Remang dibalut kesunyian dan udara dingin yang membalut kulit tuanya.

Kcipak-kcipak!

Bunyi air yang tergenang di jalan saat kaki lelaki itu menapak, seolah menjadi teman di kesendiriannya.

Pandangannya sempat teralih saat suara gemerisik dedaunan terdengar di belakangnya.

Pak Johan menghentikan langkah dan takut-takut menghadap ke belakang. Matanya begitu awas menyisir sekitar di dengan deru napas yang memburu.

Bagaimana jika tiba-tiba pocong itu ada dan menggangu? sedangkan Ia hanya sendirian di tempat itu.

Gusrak!

Terdengar sesuatu jatuh. Pak RT semakin menatap waspada. Jantungnya berdegup kian kencang, dan ...

"Meonggg!"

"Astaga!" Pak RT mengelus dadanya lega saat melihat sesuatu yang Ia takutkan tak lain hanyalah seekor kucing gembul dengan bulu lebat yang muncul dari belakang rumah salah satu warga.

Pak RT berbalik dan melanjutkan langkahnya. Menepis rasa takut yang sempat merajai perasaannya.

Ia pun kembali berlarian memburu waktu. Doa terus bergema di dalam pikirannya. Meminta perlindungan dari Yang Maha Pencipta.

Perlahan, rasa takut itu menguap begitu saja. Rumahnya pun sudah nampak di depan mata.

"Alhamdulillah," lirihnya saat kakinya mulai memasuki pekarangan rumah dan tangannya membuka lebar pagar besi.

Ia pun bergegas masuk ke dalam rumah, di mana rumahnya itu sudah sepi karena sudah lewat jam sepuluh malam.

Istrinya yang saat itu masih terjaga segera mendekat saat melihat suaminya masuk.

"Pak ... kenapa kok sepertinya abis lari-larian?" ujarnya sembari menyeka keringat suaminya yang berjatuhan.

"Iya, Bu. Ada hal penting. Bapak mau bawa mobil, mau nolongin Karno, warga kita yang pingsan di dapur," ujarnya tersengal-sengal.

"Oh, ya udah Ibu temenin,"

"Jangan Buk, anak-anak ga ada yang nunggu," tolak Pak RT.

"Tapi, Pak ... apa Bapak berani? isu itu ...,"

"Percaya pada Tuhan, Bu. Kita punya Tuhan," Pak RT membelai pucuk kepala istrinya dan mengecupnya pelan.

Ia kemudian meraih gelas diatas meja dan menuang air dari dispenser lalu meneguknya hingga tandas.

"Bapak pergi, Bu. Doakan Bapak," ujar Pak RT saat meraih kunci mobil di meja.

Istrinya hanya mengangguk pelan dan mengucapkan doa agar suaminya selamat.

Pak RT mengangguk pelan sembari mengiyakan. Ia kemudian gegas melangkah menuju mobil dan dalam hitungan menit mobil itu melaju meninggalkan rumah dengan cat berwarna ungu itu.

Pak RT kembali merasakan hawa anyep saat mobilnya melewati kebun warga. Bau bangkai tiba-tiba menyergap indra penciumannya.

Bulu kuduknya seketika berdiri tegak. Ia merasakan hawa dingin yang begitu menusuk bahu dan panggungnya.

Seperti ada yang berbisik untuk melihat kursi penumpang lewat kaca kecil diatasnya.

Namun, ada keraguan yang di dalam hatinya. Batinnya berkata saat ini Ia tak sendirian.

Di dera rasa bimbang, mata Pak RT perlahan bergerak ke arah kaca dan ...

"Astaghfirullah!"

Jantungnya seolah terhenti saat itu juga. Mematung dan membisu. Dadanya naik turun dan peluh mengucur.

Matanya melotot menatap sosok putih lusuh dan sedikit kotoran tanah yang menempel di tubuhnya.

Wajah gosong yang sebagian hancur itu tampak tenang duduk di kursi penumpang paling belakang.

Secepat kilat Pak RT mengalihkan pandangannya dan menatap ke arah jalan.

Meski degup jantungnya semakin tak beraturan dan di cekam rasa takut yang teramat sangat, Johan berusaha sekuat tenaga untuk tetap fokus hingga mobil berjalan tidak ugal-ugalan.

Mulutnya mulai komat-kamit membaca doa. Frustasi, karena di saat seperti ini, Ia malah lupa beberapa kalimat doa, hingga mengulangnya berkali-kali.

Hingga sebuah hentakan menyadarkannya dan satu lirikan membuatnya bernapas lega.

Makhluk menyeramkan itu sudah hilang. Pak RT mengucap syukur berulang kali hingga mobil akhirnya menepi di depan pekarangan warga yang cukup besar.

Melihat kedatangan Pak RT, bapaknya Sintia menyambut dengan tergopoh-gopoh.

"Cepat, kita bawa Karno," ujar Pak RT sembari mengusap peluh yang mengucur di dahinya.

Wajah Pak RT yang ketakutan sempat membuat tanya di pikiran Pak Ustad saat laki-laki itu tiba.

Namun, karena melihat kondisi Karno yang belum juga sadarkan diri, Pak Ustad urung untuk bertanya apa pun. Ia lebih memilih membantu yang lain untuk mengangkat Karno ke mobil Pak RT.

Pak Ustad dan Umar memilih pamit, membiarkan orang-orang itu pergi ke rumah sakit. Ia kembali mendistribusikan sisa kue yang masih lumayan banyak.

Sementara Pak RT, masih berusaha menormalkan kembali degup jantungnya yang sempat bergemuruh kencang.Bukan karena sedang jatuh cinta, tapi karena ulah sosok pocong usil yang tadi mengganggunya.

Masih terekam jelas diingatannya, bagaimana makhluk menyeramkan itu duduk diam tanpa ekspresi di kursi penumpang.

Tubuhnya kembali bergidik takut. Apalagi saat pintu mobil di buka, aroma bangkai sempat tercium, hingga beberapa orang yang masuk sempat menutup hidung.

Kejadian ganjil itu tak pelak membuat Pak RT bersuara.

"Maaf atas ketidaknyamanannya, mari baca doa sebelum berangkat, dan mengenai bau ini, Saya tidak bisa jelaskan sekarang, lebih baik kita berdoa saja, semoga perjalanan kita tanpa hambatan," urainya yang dianggukin Sintia dan keluarga.

"Aamiin," ucap mereka serentak.

Mobil lalu melaju dengan kecepatan sedang, membawa rombongan Karno dan keluarga, memecah kesunyian di malam itu.

Karno tak jua siuman. Hanya terdengar suara deru napasnya dan dada yang naik turun, pertanda ada kehidupan di sana.

Istri Karno, Sintia, tak henti mengusap kepala Karno. Ia ....

Dendam Arwah BapakWhere stories live. Discover now