part 43

4K 314 25
                                    

Bismillah

Pocong Itu Bapakku

#part 43

#R.D.Lestari.

Malam itu Indah kembali dititipi adiknya, Mulyani. Indah hanya tersenyum getir. Ingin menolaknya, karena Ia sangat lelah. Seharian ini Ia harus membantu mengangkat galon dan beras di toko milik Pak Sudiro, lebih tepatnya mini market karena barang-barang di Toko Sudiro termasuk lengkap.

Ia lelah lahir dan batin, menghadapi Sudiro yang semakin kelihatan tak suka padanya.

Padahal, Ia sudah berusaha keras menjauhi Jodi, Anak laki-laki Sudiro yang jatuh hati padanya.

Ya, Indah tak menampik pesona Jodi yang punya paras ganteng seperti wajah Ari Wibowo semasa muda.

Meski Indah tak punya TV, Ia tak ketinggalan berita. Ia gemar membaca di manapun berada.

Terkadang, Ia memungut koran bekas yang terbuang di tong sampah, meminjam buku di perpustakaan sekolah, buku punya teman-temannya, juga menonton berita di tetangga sebelah.

Yayuk Jamila adalah satu-satunya tetangga yang tak pernah marah. Padahal, Indah nonton dari jam empat sampai sebelum magrib.

Itupun kalau Indah tak ikut berjualan singkong bersama adiknya, Danang.

Sejak Indah memasuki kelas lima SD, Ia sudah terbiasa berjualan. Menjajakan singkong yang ada di kebun belakang rumahnya sendiri.

Hidup Indah sedari kecil sudah susah. Bapaknya malas bekerja, ibunya kerja serabutan.

Bapaknya suka berjudi, beruntung tak juga main perempuan. Tak pernah sholat ataupun melakukan ibadah lainnya, termasuk puasa.

Ia selalu cuek dengan agamanya. Lebih suka berfoya-foya. Ya, meski kekurangan, bapaknya jika punya uang lebih, tak pernah sedikitpun ingin menabung.

Ia lebih memilih minum-minum dan berjudi. Namun, tak sedikitpun ibunya ingin berpisah dari bapaknya.

Itu karena bapaknya sangat penyayang. Ia akan melakukan apa pun demi keluarga, terkecuali dengan minum-minum dan berjudi yang sudah mendarah daging.

Itulah mengapa ibunya sangat terpukul saat kehilangan bapaknya. Walau salah, ibunya yakin jika bapaknya melakukan itu karena terpaksa.

Tak punya biaya untuk melahirkan. Rela mempertaruhkan nyawa demi nyawa istri dan bayinya.

Hufft!

Indah menghembuskan napas gusar. Kemana lagi ibunya malam-malam begini? selalu membawa kantong kain dan terlihat tergesa-gesa?

Akhir-akhir ini, ibunya itu suka pergi malam. Pulang langsung tidur dan tak pernah bicara apa yang Ia kerjakan.

Indah yang sudah terbiasa di titipi Mulyani hanya mampu menurut. Sekarang Mulyani pun tak rewel.

Indah pun heran melihat ibunya yang mampu membeli susu untuk adiknya. Makanan pun sekarang enak. Dari mana ibunya dapat uang?

***

Kartini tersenyum lebar saat memasuki kuburan. Kuburan yang bagi sebagian orang menakutkan, bagi Kartini adalah lahan uang dan tempat bertemu dengan suaminya.

Di tempat itu, Ia bisa puas bertemu Mulyono yang berwujud manusia. Ia bisa menyentuhnya dan berkeluh kesah. Apa saja.

Terkadang, Ia sengaja menakuti warga dan berujung mencuri uang karena rumah kosong saat penghuninya kabur ketakutan.

Awalnya Ia takut, tapi karena mendapat sugesti dari sosok yang mirip Mulyono, Ia jadi berani dan sekarang malah ketagihan.

Kartini mengendap-endap saat memasuki kuburan. Ia terlihat sangat bahagia saat melihat punggung lebar milik suaminya itu dari jauh.

Dengan langkah yang cepat, Kartini mendekat. Lelaki itu berdiri dan berbalik, wajahnya yang samar-samar terlihat tersenyum karena Kartini tak berani mengarahkan senter yang Ia bawa langsung ke wajah.

Ia melihat Mulyono di tengah keremangan malam dan hanya mengandalkan pendar cahaya rembulan penuh yang berwarna keemasan.

Sosok itu merentangkan tangan seolah menyambut kedatangannya. Kartini pun mempercepat langkah, meski terkadang kakinya menyandung gundukan tanah dan nisan.

"Pak!" teriak Kartini seraya memeluk tubuh tegap menggantung itu. Ya, tubuh itu melayang dan tak menapak tanah, Kartini tau itu, tapi Ia tak perduli.

Mau jin, mau hantu dihadapannya itu, Ia tak akan takut.

"Buk, anak-anak gimana? aman?" tanya sosok itu.

Kartini mengurai pelukannya dan menatap suaminya," aman, Pak,"

"Apa Indah curiga?"

"Sepertinya sih, tidak, Pak,"

"Kalau begitu, Ibu di rumah saja. Biar Bapak yang menghadapi orang-orang yang sudah menyiksa Bapak,"

Kartini menggeleng. "Ga, Pak. Ibu ga mau pisah lagi sama Bapak. Ibu bunda akan balas sakit hati Bapak," Kartini bersikukuh.

"Termasuk dengan yang ini?" sosok itu menunjuk ke bawah, yang langsung membuat wajah Kartini bersemu merah.

"Mau di mana, Pak?"

Sosok itu mengerling dan membawa Kartini ke arah semak-semak tak jauh dari kuburan.

Tubuh Kartini dibaringkan dengan penuh kasih sayang beserta kecupan-kecupan hangat.

Kartini yang sudah kehilangan akal sehat membiarkan sosok itu menjamah tubuhnya.

Meski berbau bangkai, Kartini tetap bahagia bisa bersama suaminya. Ya, menurutnya itu suaminya, karena meskipun Ia sadar suaminya sudah meninggal, itu tak membuatnya takut ataupun ingin pergi darinya.

Bak candu. Cintanya kian bertambah, kian mekar, kian menggelora. Suaminya yang sekarang lebih memanjakan, lebih sayang, sering membantunya mendapatkan uang.

Walaupun ... Ia mengambil uang dengan cara yang salah, mencuri rumah orang-orang yang dulu menyiksa suaminya.

Bagi Kartini itu wajar, mengingat orang-orang itu sudah berbuat salah. Toh, mereka tak juga memikirkan nasib dirinya dan ketiga anaknya saat membantai Mulyono, suaminya.

Kini, suaminya sudah kembali dan menuntut balas. Hal itu yang membuatnya kini bersemangat untuk turut andil. Biar mereka jera, pikirnya.

Awalnya, Ia takut, tapi semakin kesini, Ia semakin ketagihan. Uang yang di dapat semakin membuat kantongnya berat.

Terkadang, Ia malah menyasar orang-orang yang tak ikut andil dalam pengeroyokan. Matanya seolah buta dengan uang.

Ia begitu menikmati kehidupannya yang sekarang. Bisa makan enak tanpa kerja keras, santai, hanya bermodal mukenah lusuh yang Ia pakai dan bedak putih, Ia mampu meraup uang dalam jumlah besar.

Kartini yang sekarang bukan Kartini yang dulu. Wanita yang taat beribadah dan cinta pada penciptaNya.

Ia menjadi Kartini yang buta karena cinta dan uang. Cinta pada sosok yang selalu di temuinya kala malam datang dan memberinya kebahagiaan.

Sosok yang serupa, mirip dengan Mulyono, suaminya.

"Pak ... apa kita akan beraksi malam ini?" tanyanya setelah pergulatan itu selesai. Ia memakai kembali pakaiannya dan menatap sendu sosok di sampingnya yang sedang menatap langit luas.

Sosok itu menggeleng pelan. " Pulanglah, anak-anak kita menunggu,"

"Tapi, Pak ...,"

"Percayalah, Aku takut kalau terlalu sering melakukan bersamamu, ketahuan, Kamu bisa dalam bahaya,"

"I--Ibu tak mengapa, Pak. Kita bisa lakukan bersama-sama," Kartini meraih lengan suaminya dan melingkarkan tangannya di sana.

"Jangan, Aku tak mau Kau bernasib sama. Siapa yang akan menjaga anak-anak kita nantinya?"

Kartini bergeming. Menundukkan wajahnya dan tatapannya jatuh pada rumput gajah yang menjadi alas serta saksi bisu kisah cintanya.

Benar apa yang dikatakan sosok yang menyerupai suaminya itu. Ia punya anak-anak yang tak mungkin Ia biarkan begitu saja. Siapa yang akan menjaga mereka jika Ia tak ada?

Dendam Arwah BapakWhere stories live. Discover now