part 9

10.1K 679 67
                                    

Bismillah

          

#part 9

#by: R.D.Lestari

"Bu! Ibuk!"

Bayi yang berada di gendongan kembali menggeliat. Baru saja hendak terhenyak, rungunya kembali terusik dengan teriakan.

Ibu mendesah frustasi. Ia lalu berlari ke arah pintu, dan saat ia membuka pintu, tatapannya tertumpu pada seonggok bungkusan hitam yang terdapat banyak lidi mencuat.

Keningnya mengernyit. Memperhatikan dengan seksama apa isi bungkusan yang kini berada tak jauh dari kakinya itu.

Setengah membungkuk sembari menggendong bayi, ia meraih bungkusan kresek hitam yang lumayan besar.

Aroma lezat menguar dari dalam bungkusan. Aroma yang sudah sejak lama tak menyapa indra penciumannya.

Seketika itu pula perutnya keroncongan. Senyum seketika terbit di wajahnya. Dengan riang ia membawa bungkusan itu masuk ke dalam rumah dan menutup pintu.

"Indah, Danang! sini!" panggil Kartini dengan suara membahana. Ia sangat bersemangat, hingga tanpa ia sadari, suaranya membuat anak bungsunya kembali terbangun dan menangis.

Mendengar suara tangisan dan juga suara ibunya, Indah dan Danang berlarian mendekatinya.

Dengan berjalan terpincang, Indah bertanya kepada Kartini. "Ada apa, Bu? apa Adik terluka?" wajah Indah menjadi pucat saat melihat adiknya yang kembali menangis padahal baru beberapa menit ia terlelap.

Kartini menggeleng. Ia mengulurkan kresek hitam ke arah Indah dan Danang.

"Ini, makanlah duluan, Ibu mau nenangin Adek dulu. Ada orang baik yang ngasih ini tadi," bohong Ibu. Ia sebenarnya tak melihat siapa pun di depan rumah. Sengaja berbohong agar Indah tak bertanya-tanya dan khawatir.

"Sate? siapa yang ngasih, Bu?" Indah yang menerima bungkusan merasa penasaran. Siapakah orang baik yang mengirim keluarganya sate?

Kartini bergeming. Ia bingung. Siapa yang kiranya akan ia sebut namanya agar anak gadisnya itu tak curiga.

"Mmh, Yayuk Jamilah, In, tapi dia langsung pulang. Yo wess, makan gih. Nanti gantian pegangin Adek, Ibu juga lapar soalnya," titah Kartini yang membuat anak gadisnya itu langsung mengangguk dengan senyum terulas di wajahnya.

"Ayo, Dek, makan sama Mbak. Rezeki nomplok ini," Indah merangkul adiknya, Danang, yang sedari tadi hanya mematung tanpa suara.

Ia membisu karena tadi sempat melihat sekilas bayangan putih yang melompat dan terbang saat Ibunya menutup pintu.

Ia yang sedari tadi berdiri di depan kamarnya itu beranjak dari meja saat ia mendengar langkah kaki Ibunya mendekati pintu depan.

"Danang?" panggil Indah saat melihat adiknya yang mematung sembari menatap lurus ke arah pintu yang sudah di tutup rapat.

Danang hanya menoleh. Ia tak berani membuka mulutnya dan menceritakan apa yang baru saja ia lihat.

Bocah itu hanya mengangguk dan mengikuti langkah kaki kakaknya menuju kursi ruang tamu.

Indah dengan bersemangat mengambil piring dan air mineral sisa acara pengajian untuk bapaknya.

Ia menyiapkan dan membuka bungkus sate yang berjumlah tiga buah itu.

Indah makan dengan lahap, berbeda dengan Danang yang makan dengan ogah-ogahan.

Begitu selesai makan, Indah menggendong adik kecilnya dan bergantian Kartini yang menikmati satenya.

Keluarga kecil itu perlahan melupakan resah yang sempat menghampiri perasaannya. Berganti dengan suka cita karena bisa menikmati seporsi sate ayam yang sangat nikmat, dan tanpa mereka sadari ada sepasang mata berkilat berwarna merah sedang memperhatikan dari balik rerumpunan bambu di depan rumah mereka.

Sepasang mata merah milik Mulyono, kepala rumah tangga yang mat* mengenaskan dan kini jadi arwah gentayangan dengan ikat kepala juga kafan putih yang membalut tubuh gosongnya.

***

Asap tipis membawa aroma sate menyeruak di sekitar kedai sate madura Pak Kasim.

Lelaki paruh baya itu dengan perasaan gusar mengipas sate yang berada diatas bara yang memerah.

Malam ini kedainya sepi. Tak ada seorangpun pelanggan yang mampir. Istrinya, Yuk Ratni tampak mondar-mandir di depan kedai memastikan adanya pelanggan yang datang.

Namun, ia harus menelan pil kekecewaan, karena tak satupun orang berada di luar.

"Tumben, malam ini sepi, Pak," ujar Bu Ratni dengan desahan pelan. Ia menghela napas dalam. Sedih memikirkan nasib kedainya yang sepi tanpa pelanggan.

"Yah, kan Ibu tau. Gara-gara isu pocong, dan kematian beberapa orang warga kampung sini, semua orang takut untuk keluar. Mereka lebih memilih tinggal di rumah," jawab Kasim dengan wajah gusarnya yang tak mampu ia sembunyikan.

"Alah, pocong-pocong! mana adalahlah itu pocong. Buktinya kita jualan dari awal semenjak kejadian orang di keroyok itu, ga ada yang aneh," pungkas Ratni. Ia menampik isu pocong itu karena memang tak pernah melihat keanehan di kampungnya itu.

Angin tiba-tiba berhembus kencang. Membawa awan gelap dan menutupi rembulan yang bersinar terang malam itu.

Udara dingin menusuk kulit membuat bulu roma Ratni berdiri. Tiba-tiba ia merinding.

Wanita yang kulitnya mulai keriput itu menyentuh kuduknya yang meremang.

Tetes-tetes air mulai jatuh satu-satu. Gerimis hadir di antara angin kencang yang berhembus menabrak tubuh dua orang tua yang saling berpandangan.

"Pa--Pak ... kok tiba-tiba cuaca berubah? padahal tadi cuaca cerah," kening Kasim berkerut mendengar penuturan istrinya yang mendekap tubuhnya sendiri dengan kedua tangannya.

Belum sempat Kasim menjawab, pasangan suami istri itu di kagetkan dengan suara lelaki yang terdengar parah di balik kaca gerobak satenya.

"Satenya masih ada, Bang?"

Kasim yang sempat termangu segera mendekat, begitu pun Ratni. Mereka tampak antusias saat menyadari adanya pelanggan pertama mereka malam itu.

"Ada, Mas. Mau berapa porsi?" tanya Kasim dengan semangat.

"Tiga porsi saja, Bang," jawabnya.

Tanpa menaruh curiga, Kasim segera membakar sate yang dipinta, begitu pun Ratni, istrinya segera menyiapkan bahan-bahan pendamping seperti acar, cabe dan memotong lontong.

Setelah selesai, Kasim menyerahkan bungkusan sate yang ia masukkan kedalam kresek hitam.

Dengan senyum sumringah, Kasim menatap Si Pembeli yang berwajah pucat tanpa ekspresi.

Laki-laki berperawakan seram itu meraih bungkusan dan menyerahkan beberapa lembar uang merah.

"Pak, ini kebanyakan," tolak Kasim dengan halus, tapi Si Pembeli malah menggeleng.

"Ini sebagai permintaan maaf, mudah-mudahan kedai Bapak besok-besok lebih laris dan banyak pengunjungnya,"

Ucapan terima kasih terlontar begitu saja dari mulut Kasim, begitu pun Ratni. Pasangan suami istri itu terlihat bahagia, hingga tak sadar karena asiknya berbincang, Ratni lupa mengucap terima kasih untuk kedua kalinya.

"Terima kasih ... Pak?"

Mata Ratni membelalak mencari sosok dermawan yang baru saja datang ke kedai mereka.

"Pak, orang tadi kemana? cepet banget hilangnya," Ratni menarik ujung kaos suaminya.

Kasim celingukan. Sama seperti Ratni, ia pun heran.

"Jangan-jangan hantu, Pak!" wajah Ratni berubah pias.

Tanpa aba-aba, Kasim menarik laci tempat uang yang ia dapat dari orang tadi, dan ternyata  ...

Dendam Arwah BapakWhere stories live. Discover now