part 77

385 23 0
                                    

Bismillah

           Pocong Itu Bapakku

#part 77

#R.D.Lestari.

Indah baru saja selesai mencuci baju di kamar mandi, saat adiknya, Danang mengeluh sakit.

"Mbak ... Mbak ...," panggilnya lirih.

Indah yang mendengar suara rintihan itu serta merta berlari kearah Danang yang berada di ruang tengah.

Tergopoh-gopoh Ia melangkah mendekat, sembari mengelap tangannya yang basah di ujung daster lusuhnya.

Matanya membeliak begitu melihat Danang yang kesakitan memegangi perutnya sambil menekuk tubuhnya.

"Danang! Danang! Kamu kenapa, Dek!"

"Perut Danang... sa--sakit, Kak," desisnya.

Indah panik. Melihat bibir Danang yang mulai membiru dan tubuhnya yang gemetar.

"Kita ke Bidan Dewi, yuk. Mbak gendong," dengan penuh kekhawatiran, Indah menggendong Danang yang mulai menangis.

Kartini yang mendengar keributan dari kamar langsung mendekat ke arah ke dua anaknya seraya menggendong Mulyani yang tertidur pulas.

"Kenapa, In? kok ribut-ribut?" susah payah Kartini menggerakkan tangannya yang masih nyut-nyutan karena sabetan samurai.

Ia melihat Indah susah payah menaikkan Danang di punggungnya.

"Ini, Bu. Danang tiba-tiba sakit perut. Indah mau bawa ke Bidan Dewi, di kampung sebelah," Indah yang nampak terburu-buru itu mengabaikan Kartini, Ia sungguh khawatir melihat keadaan Danang yang semakin lemas.

"In... hati-hati, Nak,"

Itulah kalimat yang di dengar Indah sebelum Indah berlarian tak tentu arah. Pikirannya begitu kalut memikirkan Danang.

"Mbak ... tenggorokan Danang juga sakit, rasanya seperti terbakar. Kepala juga sakit, Kak," adu Danang.

Jantung Indah berdebar kian kencang seiring deru napasnya yang memburu bersahut-sahutan dengan langkah kakinya yang menghentak tanah.

'Ya ... Allah .. apa yang terjadi pada adikku? lindungilah Danang, Yaa ... Allah," rintih Indah dalam hatinya. Tangisnya pecah saat itu juga.

Merasakan tumbuh Danang yang terguncang dan pelukan tangannya yang semakin melemah, Indah tambah frustasi.

"Danang, sadar, Dek. Kamu yang kuat! tetep bicara sama Mbak, ya!"

"I--iya, Mbak,"

Meski terpincang-pincang, Indah tetap mengayun kakinya. Indah yang bertelanjang kaki itu, sama sekali tak menghiraukan telapak kakinya yang berdarah karena tergores bebatuan tajam selama perjalanan.

Suasana pagi itu masih sepi, karena sebagian warga yang mencari rezeki sebagai petani sudah berada di ladang dan sawah.

Yang tersisa hanya ibu-ibu rumah tangga yang sedang berbelanja di warung, termasuk Jamillah yang berpura-pura tak tau saat Indah meminta tolong salah seorang dari mereka yang membawa motor.

"To--tolong, Bu, adik Saya sakit. Tolong antarkan Saya ke Bidan Dewi," pinta Indah setengah menangis.

Namun, Ibu-ibu yang berada di warung pura-pura tak mendengar dan menatap sinis.

Merasa di acuhkan, apalagi saat Indah menatap ke arah Jamillah, wanita itu malah melengos dan mencibirnya.

Indah menghela napas dalam. Melihat sikap Jamillah yang berubah padanya.

Dendam Arwah BapakWhere stories live. Discover now