part 59

3.3K 238 3
                                    

Bismillah

#part 59

#R.D.Lestari.

Tanah masih basah dan becek, sisa hujan deras tadi sore, Sudiro masih mengurung diri di dalam kamar seorang diri, tak ada keinginannya sedikitpun untuk keluar rumah. Di samping udara yang dingin menyengat, Ia pun masih trauma.

Apalagi malam ini hujan rintik di temani bulan purnama. Kata orang jaman dulu, ini waktu yang sangat disukai makhluk halus untuk keluar dan menggoda manusia.

Sudiro semakin bergidik ngeri, membayangkan pocong itu tiba-tiba ada di dekatnya.

Krett!

Sudiro terlonjak saat mendengar pintu berderit dan daun pintu yang bergeser.

Matanya menatap awas ke arah pintu. Ia bernapas lega saat melihat wajah seseorang yang menyembul di sana.

Abah Kyai datang dengan membawa nampan, yang diatasnya terdapat mangkuk dan segelas air teh.

Aroma lezat menguar saat Abah Kyai meletakkan nampan di atas nakas tak jauh dari tempat pembaringan Sudiro.

"Makanlah, Pak Sudiro," suruhnya. Sudiro mengangguk pelan. Perlahan Ia bergeser dan menurunkan kakinya.

Menggunakan sandal jepit merk swallew, Ia melangkah mendekati Abah Kyai yang duduk di kursi rotan miliknya.

Sudiro mendaratkan bokongnya di kursi samping Abah Kyai. Meraih mangkuk yang ternyata berisi bubur. Perlahan menyuap dan menikmati bubur yang rasanya amat enak hingga tandas tak bersisa.

Abah hanya mengulas senyum melihat tingkah Sudiro yang kelihatan sangat kelaparan. Sudiro hanya mengulas senyum simpul, malu.

"Abah mau pergi dulu, Pak Sudiro jangan pernah membuka pintu kalau tidak ada yang mengucap salam sebanyak tiga kali," Abah Kyai mewanti-wanti. Wajah laki-laki tua itu tampak begitu serius.

Sudiro manggut-manggut. Ia mengucap terima kasih saat Abah keluar dari kamarnya.

Sudiro kembali merenung kembali. Lama-lama Ia merasa bosan dan memutuskan untuk keluar dari kamarnya.

Melihat sekeliling, menelisik setiap inci barang-barang yang ada di ruangan.

Rumah sederhana itu tampak rapi dan bersih. Nampak jika pemilik rumah adalah orang yang rajin.

Namun, ada satu yang membuatnya khawatir. Apa maksud Abah tadi? tak boleh membuka pintu sembarangan?

Sudiro hanya bisa melamun sambil melihat di jendela. Tak ada sedikitpun yang mencurigakan di dalam rumah.

Perasaan bersalah kembali menghantuinya. Ingin segera bertemu dengan Indah dan memastikan siapa Indah sebenarnya.

Apa benar Indah adalah anak dari begal yang dikeroyok tempo hari, ataukah mungkin itu hanya sekedar mimpi buruk saja.

Suara gema orang menyebut nama Allah bersahut-sahutan di kejauhan. Sudiro yang awalnya mengantuk langsung bangkit dari tempat duduknya dan mendekat ke arah jendela.

Memperhatikan rombongan orang membawa keranda dengan kain berwarna hijau. Melangkah dengan tergesa melewati rumah tempat Sudiro bersembunyi.

Sudiro mematung. Siapa yang meninggal?

Ingin mendekati dan bertanya, tapi teringat kembali pesan Abah Kyai. Jangan keluar rumah apapun yang tejadi.

Ia hanya mampu menatap dari jauh. Terpaksa percaya pada semua ucapan Abah. Ia tak mau menyesal lagi. Teror pocong itu benar-benar membuatnya seperti orang gila.

***

Isu tentang teror pocong sudah menyebar keseluruh kampung-kampung.

Kampung Beringin sudah terkenal angker. Beberapa orang yang pindah membuat isu itu semakin berkembang. Kampung mat*, mereka menyebutnya.

Ada juga yang bilang kampung pocong, karena banyaknya orang yang sudah melihat eksistensinya.

Isu ini menarik para kru acara mistis. Gonjang-ganjing penampakan pocong yang hampir separuh penduduk pernah melihatnya, membuat salah satu stasiun TV berminat untuk mengangkat cerita itu menjadi suatu tontonan yang menarik.

Berangkatlah satu kru dari acara Misteri Dunia Lain yang berjumlah sekitar lima belas orang.

Orang-orang dari Kota itu tiba di Kampung Beringin tepat setelah berkumandangnya Azan magrib.

Mobil yang mereka sewa hanya may mengantar di depan gapura selamat datang, selebihnya mereka di biarkan berjalan memasuki kampung tanpa pengawalan.

Kru acara yang rata-rata anak muda berumur dua puluhan itu terkesan cuek dan santai. Mereka seolah menganggap remeh semua isu yang berhembus.

Tak ada rasa takut. Mereka melewati jalanan kampung tanpa ragu. Hingga beberapa kru yang rata-rata berjenis kelamin laki-laki itu merasakan sesuatu yang berbeda.

Tengkuk meremang dan juga dingin yang sangat menyengat di area tengkuk.

"Bos, singgah sebentar dong. Bawaanku rasanya semakin berat," lelaki berbaju hitam menunjuk tas ransel yang berada di punggungnya.

Seseorang yang berjaket parasut menghentikan langkah. Ia memutar tubuh dan menatap ke arah temannya itu.

Ia memutuskan untuk bertanya ke arah orang-orang yang duduk di pos ronda.

"Ada orang di sana, kita tanya mereka,"

Mereka mengikuti laki-laki berjaket parasut yang bernama Dipta, Produser dari acara Misteri Dunia Lain. Ia sebagai pimpinan tim.

"Pak Dipta, perasaan Saya tidak enak," ujar Sinta, Talent yang akan menjadi wanita indigo yang bisa melihat hal gaib. Padahal nyatanya tidak.

Ya, acara ini memang berlatar belakang tempat kejadian, tapi sebenarnya hanya settingan. Semua sudah ada skript dan penulisnya pun ikut dalam perjalanan.

Namun, entah kenapa perasaan Sinta berkata jika orang-orang yang ada di pos itu bukan warga di kampung itu, karena sangat kontras dengan keadaan yang amat sepi, di mana tak ada seorang pun diluar rumah kecuali bapak-bapak yang ada di pos ronda.

"Kalau kita tidak bertanya, bagaimana kita tau rumah Pak RT dan mencari penginapan? inilah kalau dari awal tidak ada survei, semua serba lihat di internet," omel Pak Produser.

Seluruh kru terdiam. Semua serba tergesa dan tanpa persiapan matang. Mengingat isu ini begitu berkembang dan heboh se-jagad maya.

Mereka tak mempersiapkan perjalanan yang jauh dan tidak ada survei sama sekali. Satu hal fatal yang akhirnya membuat mereka terjebak dalam situasi sulit.

"Maaf, Pak. Ini kesalahan Saya, Saya kira...,"

"Saya tak ingin menyalahkan siapa-siapa, untuk malam ini kita cari rumah Pak RT. Jika tak ada tempat untuk menginap, Kita buat tenda. Tim logistik pastikan bahan makanan aman," perintah Dipta.

Dipta kemudian berbalik dan betapa terkejutnya Dia. Bapak-bapak yang tadi berada di pos ronda kini sudah tak ada di tempat.

Pandangannya mengedar ke segala arah. Mencari keberadaan tiga orang bapak-bapak yang menghilang begitu cepat.

Bukan cuma Dia, tapi semua kru juga. Tak ada satupun yang mengetahui keberadaan bapak-bapak barusan.

Mereka pun saling pandang, dan memutuskan untuk melanjutkan perjalanan.

Perasaan tak enak kembali merasuki, ingin rasanya pergi, tapi itu tak mungkin terjadi. Mereka kadung sudah melakukan perjalanan jauh.

Melanjutkan perjalanan di kampung sepi bak kuburan bagaikan uji nyali. Para kru merapatkan barisan dan tak ingin berjauhan, apalagi udara yang terasa semakin dingin menyengat hingga ke tulang.

Bukan cuma ingin istirahat, tapi juga perut yang mendesak minta diisi segera.

Dipta tiba-tiba menghentikan langkah saat melihat...

Dendam Arwah BapakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang