PROLOGUE

131 5 0
                                    

⋅•⋅⊰∙∘☽༓☾∘∙⊱⋅•⋅

Pagi hari yang cerah.

Di sebuah rumah besar, di salah satu ruangan terlihat seorang pria tengah duduk di kursi kebesarannya sambil membaca koran. Ada secangkir kopi di meja, di samping komputer yang layarnya menyala.

Ruangan kerja di dalam rumah tersebut tampak aesthetic dan nyaman, berbanding terbalik dengan penampilan santai si pemilik ruangan. Ia terlihat memakai kaos putih berlengan pendek dan celana pendek berwarna hitam. 

Pria berambut gondrong itu mengambil cangkir kopi di meja kemudian meneguknya. Samar-samar uap lembut berhembus keluar dari mulutnya ketika bernapas. Manik matanya yang tajam dan dingin itu kembali memusatkan perhatiannya ke berita di koran.

Terdengar suara ketukan di pintu. Pria itu melirik ke arah pintu. Beberapa saat kemudian, pintu dibuka dari luar. Seorang wanita cantik yang masuk. Ia terlihat rapi dengan pakaian formalnya seperti wanita kantoran pada umumnya.

"Sayang, apa kau tidak pergi ke kantor hari ini?" tanya wanita itu sambil duduk di lengan kursi dan bergelayut manja pada pria itu yang tak lain adalah suaminya.

"Hari ini aku sangat malas. Jadi, aku akan tinggal di rumah saja," jawab pria itu dengan suaranya yang deep, tapi nadanya terdengar begitu halus dan lembut.

"Aku sudah memasak sarapan untukmu. Kau membutuhkan banyak tenaga meski tidak pergi ke kantor hari ini." Wanita itu mengusap perut suaminya.

Pria itu merangkul pinggang istrinya dan mendekatkan wajahnya ingin mencium bibir indah yang merekah itu.

"Kalau begitu, aku berangkat, ya." Wanita itu segera mengecup pipi suaminya dan beranjak dari lengan kursi.

Namun, pria itu malah mengeratkan tangannya yang melingkar di pinggang istrinya. "Mana morning kiss untukku?"

"Bukankah tadi sudah?" gerutu wanita itu sambil menahan dada suaminya.

"Kapan? Aku tidak merasakannya." Pria itu memasang ekspresi polos dan manja. Ia kembali mendekatkan wajahnya.

Wanita itu mengalihkan pandangannya. "Aku sudah memakai lipstik, jadi ak...."

Pria itu tidak peduli. Ia tetap melumat bibir istrinya dengan penuh penuntutan.

Wanita itu menahan dada suaminya. "Farenza, aku tidak punya waktu."

Farenza menatap istrinya dengan tatapan sayu. "Berapa banyak lipstik yang kau butuhkan? Aku akan membelinya sebanyak yang kau mau."

"Dua lipstik habis dalam waktu satu bulan karena ulahmu." Wanita itu melepaskan rangkulan Farenza dari pinggangnya seraya beranjak dari lengan kursi.

"Kalau perlu, aku akan membangun perusahaan lipstik khusus untukmu, Neissya Sayang," celetuk Farenza.

"Tidak perlu repot-repot, lebih baik sekarang kau sarapan," kata Neissya, istri Farenza, kemudian berlalu pergi sembari memoles bibirnya dengan lipstik.

"Hati-hati di jalan, Sayang," ucap Farenza.

Tanpa menghentikan langkahnya, Neissya menyahut, "Iya, aku akan pulang lebih awal. Jadi, jangan pesan makanan apa pun. Aku yang akan memasak untuk makan malam."

"Okay." Farenza menatap punggung istrinya yang menghilang di balik pintu. Ia meregangkan tubuhnya lalu bangkit dari kursi dan keluar dari ruangannya.

Di dapur, Farenza melihat ada hidangan yang tersaji di meja makan. Dari penampilannya, tampaknya hidangan itu sangat lezat dan menggoda. Ia pun menyantapnya dengan tenang. Baru beberapa suap, Farenza sudah selesai. Ia beranjak dari kursi dan membuka pintu lemari es.

Tampaknya yang dicari Farenza tidak ada di dalam lemari es. Ia pun menutup pintu lemari es tersebut dan pergi keluar rumah sambil memakai jaket tebal karena pagi itu lumayan dingin dan berkabut.

Di jalanan, terlihat beberapa orang yang sibuk berlalu-lalang. Ada orang-orang yang pergi bekerja, murid-murid yang akan pergi ke sekolah, dan juga penjual asongan yang menawarkan barang dagangannya. Farenza adalah salah satu di antara mereka. Ia menghampiri mesin minuman dan memasukkan uang ke dalam mesin untuk membeli minuman yang ia inginkan.

Satu kaleng minuman bersoda pun keluar dari mesin tersebut. Ketika Farenza menunduk, tiba-tiba sebuah peluru melesat ke kaca mesin minuman.

Farenza tidak menunjukkan ekspresi terkejut sama sekali. Ia menegakkan tubuhnya lalu melihat ke sekeliling. Telinga kirinya bergerak ketika mendengar suara pelatuk. Ia segera menunduk dan pura-pura mengikat tali sepatunya.

Tembakan kedua melesat dan mengenai bangku di samping mesin minuman.

Pandangan Farenza tertuju ke pedagang asongan yang agak jauh di depan sana dan berjalan ke arahnya. Pria paruh baya itu membawa kotak dagangan yang di dalamnya ada senapan dan ditembakkan ke arah Farenza.

Farenza tersenyum dingin. Ia bangkit dan berjalan gontai menghampiri penjual asongan itu sambil membuka penutup kaleng minumannya. Dan dengan santai, ia meminumnya.

Pedangang asongan itu kembali menembak ke arahnya.

Farenza hanya memiringkan kepalanya ke samping untuk menghindari peluru tersebut yang lewat begitu saja.

Keduanya semakin dekat.

Farenza melihat CCTV yang terpasang di tiang listrik. CCTV tersebut bergerak ke kanan dan ke kiri mengamati sekeliling. Farenza tidak bisa sembarangan bertindak.

Ketika si pedagang asongan mengarahkan moncong senapan di kotak dagangannya ke arah dada Farenza, dengan gerakan cepat Farenza menyayat leher si pedagang asongan itu menggunakan tutup kaleng yang tadi ia minum.

Waktu yang tepat, karena CCTV-nya sedang menyorot ke arah lain.

Farenza pun melanjutkan langkahnya seolah tidak terjadi apa-apa. Ia melepaskan jaketnya dan menentengnya.

Tubuh si pedagang pun ambruk di jalanan dengan darah segar yang mengalir dari luka sayatan di lehernya.

Semua orang panik dan terkejut saat menyadari ada orang yang jatuh dan berdarah. Mereka beteriak ketakutan dan menjauh dari si pedagang yang sedang sekarat itu. Beberapa dari mereka segera menelepon bantuan.

Farenza kembali mendengar suara pelatuk dari arah lain. Ia segera menjatuhkan kaleng minuman di tangannya dan menunduk berpura-pura mengambil kaleng tersebut.

Peluru tersebut mengenai orang lain, yaitu wanita berjas yang langsung tumbang dengan darah yang mengalir dari luka tembakan di dadanya. Orang-orang semakin panik dan berlarian tak terkendali.

Farenza mendongkak menatap pria berjas hitam yang berdiri tak jauh darinya. Pria berjas itu terlihat begitu santai saat semua orang berlarian panik. Ada koper di tangannya, sudah pasti ada senapan yang disembunyikan di dalam koper tersebut, seperti yang dilakukan oleh si pedagang asongan tadi.

Farenza bangkit, tapi CCTV kembali menyorot ke arahnya, sehingga Farenza memilih untuk berpura-pura ketakutan dan berlari seperti orang lain mengikuti arus.

Si pembunuh bayaran berjas hitam itu mendecih. Ia mengeluarkan pistol dari balik jasnya lalu menembak ke CCTV yang terpasang di tiang hingga copot.

Semua orang berteriak kaget saat mendengar suara tembakan langsung dari pistol yang tidak dipasangi alat peredam.

Farenza membuang jaketnya ke wadah sampah lalu ia masuk ke dalam toilet umum.

⋅•⋅⊰∙∘☽༓☾∘∙⊱⋅•⋅

13.57 | 1 Desember 2021
By Ucu Irna Marhamah

AMOREVOLOUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang