5

11.7K 1.6K 33
                                    

Song of the day: Melati di Tapal Batas by Hendri Rotinsulu

Jenaka memeluk tubuh yang menangis itu. Raden Ajeng yang masih terisak. Berusaha sebisa mungkin untuk kembali tenang. Namun rasa sesak di dadanya tak kunjung menghilang. Kemeja sekolah Jenaka sampai basah akibat air mata Raden Ajeng.

Jenaka tidak tahu apa yang terjadi kepada nenek buyutnya tersebut. Dari apa yang Jenaka dengar, neneknya terdengar berbincang seperti biasa tadi. Bahkan pria yang bernama Tuan Aryadiningrat tadi juga terdengar begitu lembut berbicara dengan Raden Ajeng. Tak satu pun yang mengindikasikan bahwa telah terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan.

Raden Ajeng terus menangis sampai tiga puluh menit selanjutnya. Matanya sampai memerah dan sembab. Sapu tangannya juga sudah sangat basah. Jenaka duduk berlutut di depan Raden Ajeng, membuka tasnya untuk mencari tisu.

Raden Ajeng awalnya bingung melihat benda yang dikeluarkan oleh Jenaka, tetapi Jenaka tetap membiarkannya dan membantu Raden Ajeng menghapus air mata tersebut.

"Maaf, kamu melihat saya seperti ini. Saya tidak berniat buat kamu melihat saya menangis. Saya hanya tidak bisa menahan rasa sedih."

Jenaka menggeleng. "Nggak apa-apa. Bukan masalah. semua orang berhak menangis."

Jenaka merasa sedikit getir berbicara seperti itu. Karena sejujurnya dirinya juga jarang menangis. Bahkan ketika Ayutnya meninggal saja, Jenaka sama sekali tidak menangis. Ia memang sedih tetapi tidak sampai seperti nenek atau kedua orang tuanya yang menangis berderai air mata.

"Maaf, Jenaka."

Raden Ajeng kembali mencoba tersenyum agar Jenaka tak lagi mengkhawatirkannya.

"Jadi, dimanakah rumahmu? Mungkin saya mengantarkanmu pulang tapi bisa menyuruh chauffeur (sopir) untuk mengantar kamu pulang."

Jenaka menggeleng. "Raden Ajeng, aku ingin mengatakan sesuatu. Tapi tolong untuk tidak terkejut."

"Iya? Apa?"

Jenaka menghela napas panjang. Jenaka memperhatikan wajah Raden Ajeng Cantika dengan lekat. Dirinya tidak akan pernah memberitahu bahwa Jenaka adalah cicitnya. Tidak akan pernah. Jenaka tidak sebodoh itu. Ia takut ... takut jika tiba-tiba sejarah berubah dan Jenaka tiba-tiba menjadi tidak lahir di kemudian hari. Itu adalah hal logis yang harus Jenaka pegang teguh.

Jenaka tidak menginginkan itu. Ia hanya perlu mengatakan seperlunya saja.

Jenaka telah menetapkan hatinya. Mulutnya terbuka dan menjelaskan semua apa yang ia lalui sampai bagaimana dirinya tiba-tiba muncul di ruangan itu.

Wajah Raden Ajeng yang awalnya merona karena tangis perlahan kehilangan warnanya dan menjadi pucat. Ia terkesiap. Meletakkan tangan-tangannya yang lentik di depan bibirnya yang terbuka.

"Kamu seorang dukun?"

"Dukun? Bukan-bukan, saya juga nggak tahu kenapa saya bisa di sini sekarang. Kalau kamu nggak percaya lihat saya sekarang!"

Jenaka berdiri. Menyuruh Raden Ajeng untuk melihatnya dengan seksama. Raden Ajeng sudah melihat Jenaka tadi. Memperhatikan pakaian aneh yang anak itu kenakan. Selain itu Jenaka juga mengeluarkan banyak benda aneh yang belum pernah Raden Ajeng lihat.

Entah dorongan dari mana tapi Raden Ajeng rasa dia harus mempercayai Jenaka. Untuk orang normal mungkin akan memanggil pihak keamanan untuk menangkap Jenaka tapi ia tidak bisa melakukan itu. Ia mempercayai Jenaka begitu mudahnya.

"Tapi .. " Raden Ajeng memiringkan wajahnya untuk melihat Jenaka sekali lagi. "Kenapa wajahmu sangat mirip dengan saya punya wajah?"

Jenaka berdeham gugup. Melihat ke arah lain dengan bibir yang mengerucut takut ketahuan.

Surat Untuk Jenaka (Complete)Where stories live. Discover now