16

8K 1.3K 68
                                    

Jenaka meletakkan tubuhnya sejenak ke atas ranjang. Kamar itu lebih kecil dari pada kamar milik Raden Ajeng. Ukurannya hampir sama dengan ukuran kamarnya sendiri. Jenaka meletakkan tasnya ke dalam lemari tanpa membongkar isiannya dan kembali naik ke atas ranjang. Ia mendekatkan dirinya pada lampu minyak di meja untuk membaca buku.

Jenaka kemudian menghabiskan bukunya dalam semalam. Matanya terasa lelah. Setelah menutup halaman terakhir, Jenaka meletakkan kepalanya di atas bantal. Ini adalah malam yang paling Jenaka senangi. Ia bisa membaca buku sepuas hati tanpa ada gangguan. Biasanya ibunya akan mengunjungi kamarnya setiap malam untuk memastikan bahwa Jenaka sudah tidur dan seminggu kemarin Raden Ajeng selalu menahan bukunya sampai Jenaka harus tidur.

Dan mendapatkan kesempatan membaca sepuas hati membuat Jenaka merasa sangat puas. Entah berapa jam Jenaka tertidur karena ketika ia bangun punggungnya terasa sangat pegal. Jenaka merentangkan tangannya untuk merilekskan semua otot-ototnya.

Masih dengan pakaiannya, Jenaka bangun untuk melihat keluar kamar.

"Pram?" panggil Jenaka pelan.

Jenaka ke dapur dan tak menemukan Pram juga di sana. Ia mengintip dari jendela untuk melihat ke arah luar halaman belakang juga halaman depan tapi tak juga menemukan pria itu. Apakah Pram sudah berangkat kerja?

Setelah mengambil kesimpulan bahwa Pram pergi bekerja, Jenaka kembali menyusuri rak buku dan mengambil volume kedua buku yang dibacanya semalam. Jenaka duduk di atas tumpukan kain hingga terdengar suara terbatuk.

"Jenaka ... saya di sini ..."

Jenaka menoleh ke bawah sampingnya.

Pram menurunkan kain yang menutupi wajahnya. Di atas wajahnya juga terdapat sebuah buku yang terbuka tak dibaca.

"Apa yang kamu lakukan di bawah sana?" tanya Jenaka yang masih duduk dengan nyaman di atas tubuh Pram. Tumpukan buku dan kain yang dikiranya tadi ternyata adalah Pram yang dibungkus oleh selimut.

"Saya membaca semalaman dan di sini dingin. Maka dari itu saya menggunakan selimut."

"Oh."

Pram menepuk punggung Jenaka dengan lembut. "Saya sungguh tidak apa-apa, jika Nona Jenaka masih ingin duduk di atas tubuh saya. Tapi bisakah kita mencari posisi yang lebih nyaman? Jika seperti ini saya tidak bisa bernapas," ujar Pram dengan senyum lebar.

Jenaka langsung turun dari tubuh Pram dan duduk di atas selimut. Pram menggeleng melihat Jenaka yang sama sekali tidak terpengaruh akan kedekatan mereka.

"Jam berapa sekarang?"

"Sebelas," jawab Jenaka.

"Oh ... maaf saya ketiduran. Mau sarapan?"

"Boleh, jika tidak merepotkan."

Pram mengacak rambut Jenaka sambil tertawa.

"Nee, lieve," ujar Pram yang kemudian bangun dan kembali menuju dapur.

Pria itu kemudian memasakkan sarapan untuk mereka berdua. Sesekali Pram menoleh ke belakang melihat Jenaka yang sibuk dengan bukunya yang baru. Gadis itu kemudian rebahan di tempat Pram tidur tadi. Pram berbalik dengan rona merah. Ia menggaruk rambutnya canggung.

"Nona Jenaka," panggil Pram.

"Ya?"

"Saya tidak punya pakaian perempuan. Apakah Nona tidak masalah mengenakan pakaian milik saya?"

Jenaka mengangkat wajahnya dari halaman buku.

"Nona tidak ingin membersihkan tubuh? Atau mau saya ambilkan pakaian dari kediaman Raden Ajeng dulu?"

Surat Untuk Jenaka (Complete)Where stories live. Discover now