22

8K 1.1K 63
                                    

Song of the day: Semua Bisa Bilang by Margie Segers

"Kita akan pergi kemana?" tanya Jenaka.

"Saya punya banyak tempat yang hendak saya kunjungi. Mulai dari bukit, pasar untuk beli kain panjang buat Nona yang baru kemudian mengajak Nona untuk mengunjungi Kebon Raja. Tapi jika Nona Jenaka memiliki ide untuk menghabiskan hari ini, saya akan ikut Nona Jenaka saja."

Jenaka menggeleng. "Saya tidak tahu apa-apa dengan tepat ini jadi saya serahkan semuanya kepada Tuan Pram."

"Baiklah! Kalau begitu mari kita menikmati hari ini bersama!"

Pertama-tama Pram mengajak Jenaka untuk naik tram. Ini pertama kali Jenaka naik sebuah tram. Ia hanya melihat benda ini di televisi atau buku-buku sejarah saja tapi ia benar-benar menggunakannya. Di dalam tram duduk banyak wanita dan pria eropa dengan berbagai macam pakaian mereka yang indah.

Pram sengaja menurunkan topinya karena tak ingin dikenali begitu juga dengan Jenaka, pria itu meminta Jenaka untuk tetap mengenakan topi lebarnya. Beberapa mata orang berkulit putih itu melirik Pram dan Jenaka penasaran.

Jenaka membantin, mereka hanyalah para kolonial yang merasa diri mereka lebih baik. Toh kata neneknya yang lahir juga besar di Den Haag, orang-orang Belanda hanya berbesar kepala di Tanah Hindia saja. Bersikap bahwa semua orang pribadi adalah jongos mereka, ketika nenek tinggal Den Haag, nenek juga punya pelayan dari orang eropa.

Pram memberikan tempat duduk Jenaka di dekat jendela agar gadis itu bisa melihat pemandangan kota. Sambil menikmati perjalanan yang panjang dikelilingi oleh para kolonial, Jenaka sama sekali tak terintimidasi oleh mereka. Ia mengangkat sedikit topinya karena ia belum pernah melihat kota dengan matanya sendiri.

Ia hanya pernah pergi ke pasar di dekat kediaman Wedana yang cukup terpencil. Setelah tinggal dua hari di rumah Pram juga ia belum pernah kemana-mana. Kini saatnya dia menikmati pemandangan yang tidak akan dirinya lihat lagi ketika ia kembali ke masanya nanti.

Semua bangunan memiliki desain Belanda dengan langit-langit yang tinggi agar hunian tidak menjadi panas. Beberapa delman terparkir rapi di pinggiran jalan. Para kusir sibuk berbagi cerita, mengobrol menunggu para pelanggan tiba. Beberapa wanita eropa berjalan dengan mengaitkan tangan mereka pada pasangan prianya. Berjalan dengan dagu terangkat sambil memegang payung untuk melindungi kulit putih pucat mereka dari sinar matahari.

Pram mendekat, meletakkan dagunya pada pundak Jenaka sambil menunjuk ke arah luar jendela.

"Itu adalah rumah Bupati, kamu pasti tidak ingat kau karena datang di malam hari saat itu. Kemudian itu adalah kantor departemen dinas sipil dan yang itu yang gedung putih panjang ... itu adalah departemen keuangan."

Jenaka membiarkan Pram menggunakan bahunya untuk mengistirahatkan dagu milik pria itu. Akibat tram yang berhenti untuk menurunkan penumpang, Jenaka yang tak menjaga keseimbangannya sedikit oleng ke samping tapi ditahan oleh Pram sehingga pipi mereka berdua saling bersentuhan.

"Dan itu adalah tempat kerja milik saya. Mahkamah pengadilan."

"Pram, kalau boleh tahu bagaimana sistem peradilan saat ini?" tanya Jenaka sambil melihat beberapa orang yang masuk ke dalam gedung putih tinggi itu.

"Haruskah perjalanan kita mulai di sini? Mumpung tram belum kembali bergerak."

Jenaka mengangguk tanpa banyak menolak. Pram menarik tangan Jenaka kemudian mengajak gadis itu turun menyeberangi jalanan yang sepi, hanya ada beberapa delman yang terparkir di jalanan juga satu mobil yang lewat.

Pram membuka topinya agar penjaga bisa mengenalinya.

Jenaka masuk ke dalam gedung mahkamah pengadilan dan banyak laki-laki mengenakan jas yang hampir serupa berjalan kian-kemari membawa tumpukan kertas. Di ruangan pertama, Jenaka disajikan oleh banyak orang yang mengantri untuk melaporkan kasus mereka.

Surat Untuk Jenaka (Complete)Where stories live. Discover now