27

7.1K 1.2K 74
                                    

Jenaka resah. Tak sedetik pun ia memejamkan matanya. Ia ingin menyusul Raden Ajeng dan Jati tapi Pram melarang. Hari juga sudah malam, ia tak bisa menyusul ke rumah Wedana.

Sedari Jati pergi meninggalkan rumah, Jenaka duduk di teras rumah menunggu pemuda itu kembali kemudian menjelaskan apa yang terjadi. Namun hingga malam berganti fajar, Jati tak muncul juga. Ketika hari lebih terang, barulah Pram mengantar Jenaka untuk mengunjungi Raden Ajeng.

"Saya akan jemput di sore hari sebelum Wedana kembali."

Jenaka mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Pram mengajak Jenaka masuk dan minta izin kepada pelayan rumah untuk menjenguk Raden Ajeng. Pelayan itu bilang jika Raden Ajeng tengah tak bisa diganggu sejak tadi malam. Jenaka dengan topi lebar yang menutupi wajahnya sedikit memaksa. Pram mencoba menenangkan gadis itu dan bernegosiasi dengan pelayan tersebut yang kemudian akhirnya Jenaka diberikan izin.

Sebelum Jenaka pergi menemui Raden Ajeng, Pram kembali mengingatkan bahwa ia akan menjemputnya sore nanti.

"Iya, saya ingat," jawab Jenaka yang kemudian berbalik untuk menemui Raden Ajeng segera.

Pram kemudian izin kepada pelayan untuk meninggalkan Jenaka di sana dan akan menjemputnya sore nanti.

Jenaka berdiri di depan pintu kamar. Ia mendengar suara isak tangis dari luar.

"Cantika ... ini aku, Jenaka," panggil Jenaka dari luar kamar.

Suara isak tangis itu mereda perlahan. Jenaka masih menunggu di depan pintu. Tak ingin membuka pintu tersebut tanpa izin. Ia tidak ingin membat Raden Ajeng tidak nyaman karena ia memaksa untuk menerobos masuk. Cukup lama Raden Ajeng merespon, sampai-sampai rasanya Jenaka harus menghibur dirinya dengan melihat betapa sibuknya barisan semut merambat di pinggir pintu kamar itu.

Pintu perlahan terbuka. sebuah celah kecil menampakkan setengah wajah Raden Ajeng yang merah juga basah. Matanya sembab, entah sudah berapa lama perempuan itu menangis.

"Cantika, boleh saya masuk?"

"Jenaka.. Saya rasa ... hiks ... ini bukan waktu yang tepat."

Jenaka segera meletakkan tangannya untuk menahan Raden Ajeng yang akan menutup pintu.

"Cantika ... ini saya. Saya tidak akan mengganggu kamu menangis. Saya hanya ingin memastikan bahwa kamu akan tetap baik saja. Saya hanya duduk diam menunggu kamu selesai menangis. Saya janji mulut saya akan tertutup rapat."

Raden Ajeng menghela napas berat. Ia tidak bisa mendorong Jenaka menjauh. Perempuan itu membuka pintu kamarnya lebih lebar. Mengizinkan Jenaka untuk masuk ke dalam kamarnya yang berantakan. Ia sudah menangis semalaman. Beberapa bantal kepalanya bertebaran di lantai begitu juga dengan selimut yang dibuang begitu saja.

Selama mengenal Raden Ajeng, Jenaka selalu memiliki kesan bahwa Raden Ajeng adalah orang yang rapi. Bahkan beberapa kali ia melihat perempuan itu menangis, Raden Ajeng selalu bisa diri juga sekitarnya untuk tetap rapi berada di tempat. Namun mungkin yang dilalui oleh Raden Ajeng kali ini jauh berbeda.

Jenaka mengambil bantal-bantal itu dan meletakkannya kembali di tempat. Ia duduk di atas ranjang menunggu Raden Ajeng kembali menumpahkan kesedihan hatinya.

Apa yang terjadi? Itu adalah pertanyaan yang ingin Jenaka tanyakan. Apakah Jati melukai hati Raden Ajeng sedalam itu? Jenaka yang belum pernah merasakan sakit hati tiba-tiba menjadi takut akan perasaan yang sama.

"Jenaka, maafkan saya," kata Raden Ajeng dengan suara seraknya.

Jenaka berbalik dan mendekat ke arah perempuan itu.

"Kenapa meminta maaf? Apakah kamu sudah melakukan kesalahan? Jika tidak, maka jangan mengucapkan maaf semudah itu."

Raden Ajeng menyentuh tangan Jenaka dan menangis tersedu-sedu. Hati Jenaka teriris melihatnya. Jenaka bukanlah seseorang yang mudah menangis. Tapi karena dirinya tahu siapa sosok Raden Ajeng untuknya, mau tak mau hati keras Jenaka melembut dan ikut merasa sedih.

Surat Untuk Jenaka (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang