Prolog

10K 298 2
                                    

Assalamualaiakum.
Salam sehattt semuaaa.
Aku datang dengan cerita baru yang ringan di awal jadi tolong kalian betah-betah disini yaaa. Masukan ke perpus kalian oke.
Selamat membaca..

.
.
.
.

"Kanaya Sabila."

Semua sorot mata langsung tertuju pada gadis berambut sebahu, yang tengah anteng mengunyah permen karet di bangku paling belakang.

"Saya?" Kanaya mengerjap satu kali.

Melihat itu Bu Mega langsung berkacak pinggang. Muridnya yang satu itu selalu membuatnya pusing. "Buang permen karet dimulut kamu. Atau saya hukum buat ngepel di koridor?"

"Saya pilih yang kedua," jawab Kanaya lantang.

Seluruh siswa dikelas kompak menepuk jidat mereka setelah mendengar jawaban gadis itu. Sementara Bu Mega semakin naik pitam pada Kanaya.

"Yasudah sana! Pel seluruh koridor sampe lantainya mengkilat. Cepat!!"

Ckitt.

"Siap Bu Mega!!" Kanaya berdiri semangat dari duduknya. Lalu berlari keluar kelas diiringi sorakan anak-anak lain.

Bagi Kanaya, itu adalah sorakan kemenangan.

Ini memang rencana Kanaya. Dia tahu kalau Bu Mega melihatnya mengunyah permen karet lagi, pasti ia akan dihukum.

Kini gadis itu berjalan menuju toilet dan mengambil seperangkat alat pel dari sana.

"Saatnya liat ayaaaang," pekik Kanaya senang kemudian melangkah riang menuju koridor kelas sebelas IPA 1.

Gadis itu mulai mengepel lantai koridor, dengan mata yang beredar ke dalam kelas IPA 1 yang sedang melangsungkan pembelajaran.

Mata Kanaya langsung terkunci pada satu objek yang duduk di barisan depan dekat kaca sejajar dengan meja guru.

Lelaki tampan itu tampak sangat serius memerhatikan materi yang disampaikan Pak Burhan dipapan tulis.

"Diliat dari jarak jauh pun, lo tetap menawan. Sean Mahesyaka," monolog Kanaya dengan melankolis.

Sedetik pun, mata Kanaya tidak mau berpaling dari Sean. Sampai akhirnya lelaki yang dia tatap itu menoleh ke arah jendela.

Deg.

Mata lelaki itu menangkap basah Kanaya yang berdiri di balik jendela. Hati Kanaya berdesir dan bibirnya spontan mengunggingkan senyum yang amat lebar.

Tapi naas, detik itu juga wajah Sean berpaling ke papan tulis yang mana sukses melunturkan senyuman Kanaya.

"Idih idih. Emangnya senyuman gue sejelek itu apa sampai dia langsung buang muka?" gerutu Kanaya kesal. Dia pun kembali mengepel lantai sambil menggerutu.

"Apa gue harus oplas dulu biar senyum gue keliatan agak bagusan gitu?"

Tak berselang lama tiba-tiba pintu kelas terbuka. Seorang lelaki berpostur tinggi keluar dari sana dengan beberapa tumpuk buku di genggaman tangannya.

"Sean?" gumam Kanaya sedikit terkejut. Melihat Sean berjalan ke arahnya, tubuh Kanaya menegang bak patung pancoran. Jantungnya pun terus berdebar tak karuan saat memerhatikan derap langkah Sean yang semakin mendekat tetapi....

"Numpang lewat doang ternyata," gumam Kanaya parau. Dia pun berbalik badan menatap punggung Sean yang perlahan menjauh. "Nyadar diri, Nay, Nyadar diri." Kanaya menepuk-nepuk pipinya guna menyadarkan dirinya sendiri.

"Eh-eh, dia balik badan. Dia kesini. Dia kesini lagi." Kanaya kembali membeku saat melihat Sean berjalan ke arahnya lagi.

"Dia mendekat, Nay...." Kanaya semakin berdebar-debar saat Sean semakin mendekat.

"Kenapa lo selalu merhatiin gue dari jauh?" tanya Sean begitu tiba dihadapan Kanaya. Nada suaranya terdengar begitu ketus.

Kanaya menggaruk pipinya yang tak gatal. "Lo-lo gak ingat sama gue ya?" tanya Kanaya heran.

"Emangnya lo siapa?"

"Gue yang waktu itu lo tolongin dari preman-preman yang mau melecehkan gue."

Sean sedikit menukik alisnya. Seolah mencoba mengingat kejadian itu.

"Lo.... lupa ya?" Kanaya mengangkat kedua alisnya, penasaran.

"Gue sama sekali gak kenal sama lo. Sorry."

Saat Sean hendak kembali masuk ke kelas untuk mengambil satu buku paket yang terlupakan, Kanaya langsung mencegatnya dengan kedua lengan terbuka.

"Kalo bukan lo, lalu siapa lagi? Gue masih ingat dengan jelas wajah orang yang nolongin gue waktu itu emang lo, Sean," cecar gadis itu.

Sean menghela nafasnya, jengah. "Mungkin itu kembaran gue."

"A-apa? Kembaran?" Mata Kanaya membelalak. Ia bahkan tidak pernah mendengar berita bahwa Sean memiliki seorang kembaran. "Emangnya lo punya kembaran?"

"Hmm. Mungkin dia yang udah nolong lo," sambung Sean.

"Jadi selama ini, gue udah mengagumi orang yang salah?" gumam Kanaya bingung. Selama satu bulan penuh Kanaya sudah menghabiskan banyak waktunya untuk memandangi Sean dari jauh, ketika lelaki itu menjadi siswa baru yang dengan cepat menjadi populer di sekolah ini. Tapi ternyata, Kanaya salah orang.

"Sepertinya." Sean mengangkat bahunya singkat.

"Dia gak sekolah di sini?" tanya Kanaya penasaran.

"Dia gak bisa bicara. Jadi home schooling."

Kanaya tertegun setelah mendengar hal itu. Pantas saja saat Kanaya pernah menanyakan nama lelaki itu, dia tidak menjawab tapi malah langsung pergi.

"Bisa bantu gue buat nemuin kembaran lo?"

Sean terdiam untuk menimang-nimang. "Mungkin dia bakalan nolak buat ketemu sama lo," ujarnya merasa yakin.

"Tolong bujuk dia. Demi gue, Sean. Plisss."

"Demi lo?" cicit Sean heran.

Kanaya mengangguk cepat. "Gue harus menyampaikan sesuatu yang penting."

"Oke. Biar lo gak cerewet lagi."

Kanaya pun tersenyum senang. Akhirnya dia bisa bertemu kembali dengan lelaki itu.
.
.
.
.
.
.

Start: 30 september, 2023.

Silent Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang