052. Memory

787 78 2
                                    

Dua bulan kemudian.

Sean keluar dari dalam mobil yang barusaja ia parkiran. Kemudian berjalan memasuki gedung tahanan yang menjadi tempat ayahnya menghabiskan hidup.

Ia menghampiri petugas polisi lebih dulu, sebelum akhirnya dituntun untuk memasuki ruang tempat menjenguk narapidana.

Sean sudah duduk di kursi, ketika polisi pergi untuk memanggil Radith.

Dan tak berapa lama, Radith muncul.

Sean tercekat begitu Radith berjalan dan duduk didepannya. Pria itu tampak kacau dari terakhir kali ia lihat saat sidang terakhir diputuskan.

Bahwa Radith divonis hukuman penjara seumur hidup.

Pria yang biasanya berpakaian ala konglomengrat itu kini hanya dibaluti pakaian lusuh berwarna orange.

Meski begitu, Radith selalu menampilkan senyum terbaiknya ketika berhadapan dengan Sean. "Bagaimana keadaan kamu?"

"Sean kehilangan banyak teman. Setelah mereka tahu kalau Sean anak seorang pembunuh."

Radith tertegun.

Sean tersenyum kecut. "Sean dikucilkan di sekolah. Bahkan di bully habis-habisan."

Ketika Sean melepas masker yang menutupi wajahnya, mata Radith membola. Karena kini Radith dapat melihat dengan jelas luka-luka lebam yang memenuhi wajah putranya itu. "Sean, maafkan Papa...."

Sean hanya menutup mulut atas permintaan maaf Radith yang terlalu sering terdengar. "Maafkan Papa karena gak bisa melindungi kamu. Maafkan Papa...."

Radith menunduk dalam. Ia benar-benar sangat malu.

"Luka-luka ini adalah hadiah terbaik di tahun ini. Sean gak malu kalian masuk penjara. Hati Sean lega. Sean akhirnya bisa hidup tanpa beban berat itu lagi," ucap Sean terus terang.

Radith merasakannya, Sean mengatakan itu tanpa sedikitpun kebohongan. "Tolong jaga diri kamu dengan baik diluar sana. Jika perlu Papa bisa meminta seseorang untuk melindungi kamu."

"Gak perlu." Sean menolak. "Sebentar lagi Sean lulus. Setelah itu Sean akan belajar diluar negri."

Kedua tangan Radith spontan mengepal. Rasa sesak menggerogoti ulu hatinya. Mau tak mau ia harus kehilangan kedua putranya sekaligus karena ulah bodohnya. Ia pun mengangguk. "Itu keputusan bagus. Tapi sering-seringlah menjenguk Papa dan Bunda."

Sean mengangguk kecil. "Sean usahakan. Karena Sean juga harus sering menjenguk Zean."

Radith tertunduk saat nama itu disebutkan. "Zean.... Papa selalu memimpikannya setiap malam."

Sean mengangkat alis. Dirinya bahkan tak pernah dijumpai Zean dalam mimpi.

"Zean selalu muncul dengan wajah tersenyum, lalu hilang ditelan cahaya. Apa itu artinya, dia sudah bahagia?" Radith bertanya dengan gemetar.

Sean memalingkan wajah. "Pasti dia bahagia," ujarnya.

Radith tiba-tiba menyodorkan sebuah memory card ke atas meja.

"Apa ini?"

"Kenangan," jawab pria itu.

Sean meraih memory card tersebut. Menelisiknya dengan seksama.

"Zean tidak terlahir bisu. Dia terlahir normal seperti kamu, Sean."

Tatapan dari memori beralih pada Radith. Sean memandang pria itu kaget setelah apa yang ia dengar tentang Zean.

"Zean bisu karena kecelakaan. Atau mungkin karena kelalaian Papa." Radith menatap kosong meja dihadapannya. Lalu meneruskan. "Zean kehilangan pita suaranya karena trauma. Saat Zean masih berumur dua tahun, Papa dan Bunda membawanya ke salah satu acara kolega bisnis Papa. Kami pulang dengan kondisi mabuk. Bunda yang menggendong Zean pun mabuk waktu itu. Saat Zean sedang asik mengoceh, tiba-tiba mobil menabrak pembatas jalan. Kecelakaan itu memang tidak terlalu parah. Papa dan Bunda bahkan tidak punya cedera serius. Tapi Zean mengalami trauma. Dokter bilang dia terguncang hebat karena kejadian itu."

Napas Sean memburu setelah mendengar penjelasan Radith. "Kalian benar-benar.... buruk."

"Bunda nggak bersalah. Papa lah yang memaksa Bunda agar membawa Zean. Karena waktu itu kolega bisnis Papa ingin melihat salah satu dari kalian."

Sean terkekeh pedih mendengar alasan tersebut. "Selama ini Sean percaya dengan alibi kalian kalau Zean bisu sejak lahir. Bahkan, Zean sendiri pun percaya."

"Maafkan kesalahan Papa, Sean."

"Papa memang pantas menderita." Sean bangkit berdiri dengan kasar.

"Kamu bisa benci Papa. Tapi Bunda, dia gak bersalah. Jangan membuatnya semakin menderita. Jenguk dia sampai dia pulih, Sean."

Setelah mendengar ucapan itu, Sean pergi tanpa mau menjawab barang sepatah kata. Ia keluar dari gedung tahanan menuju parkiran dengan langkah kasar.

Begitu masuk ke dalam mobil, ia langsung mengambil laptop di kursi belakang, kemudian memasukan memory card yang tadi Radith berikan.

Ada satu file dan satu video berdurasi satu menit. Sean pun membuka video tersebut. Latar ruang keluarga terlihat memenuhi layar.

Klik.

"Zean mau main apa hm?" tanya Rinjani pada Zean kecil yang sedang sibuk memilih mainan dengan tangan mungilnya. Lalu tak lama Zean mengambil mainan mobil.

"Obill," ucap Zean.

"Okee kita main mobil-mobilan."

Rinjani menoleh pada kamera saat sadar. "Mas, kamu lagi videion kita?"

Terdengar suara Radith. "Halo Bunda dan Zean, kalian lagi main apa nih?"

"Main obil!! Papa ayo main!" seru Zean seraya berdiri lalu berjalan ke arah Radith untuk memberikan mainan mobil.

"Ohh baiklah. Papa akan ikut bermain." Radith menerimanya.

"Sean mana?" tanya Zean sambil menoleh kesana kemari.

"Sean lagi bobo, sayang," jawab Rinjani.

Zean pun cemberut. "Sean bobo?" ulangnya.

Rinjani mengangguk.

"Nda! Sean jangan bobo. Suluh main!"

Rinjani tertawa mendengar itu. "Sean-nya ngantuk, Ze. Nanti kalau sudah bangun main sama Zean. Ya?"

Setelah tak ikhlas, Zean akhirnya mengangguk patuh. "Yaaa."

Radith pun terkekeh gemas. "Ayo kita mainnn."

Sean mengusap pipinya yang entah sejak kapan basah. "Suara lo.... lucu banget bang."
.
.
.
.
.
.
.

Satu part menuju ending....

Silent Love (END)Where stories live. Discover now