019. Regret

2.2K 138 0
                                    

"Nggak!! Lo harus bangun Zean! Gue mohon!! Gue mohon buka mata lo! Buka mata lo...." Sean kelelahan akan usahanya sendiri. Ia akhirnya menidurkan kepalanya di atas perut Zean. "Gue selalu terlambat. Gue selalu datang terlambat, tapi gue mohon.... Gue gak mau kehilangan lo, bang."

Sean menangis semakin keras.

"Tuhan, tolong buat Zean sadar. Buat dia sadar karena gue gak bisa hidup tanpa saudara gue," lirih Sean sekali lagi.

Uhukk!

Sean menegakkan badannya saat Zean terbatuk dan kepala lelaki itu sedikit terangkat sebelum akhirnya ia memuntahkan banyak air dari mulutnya.

Mata Sean berbinar melihat hal itu. "Zean. Lo bisa dengar gue?"

Zean kembali terkurai lemas. Namun ia berusaha membuka matanya yang berat. Samar-samar, matanya menangkap sosok lelaki yang berwajah mirip dengannya.

"Syukurlah. Syukurlah lo gak kenapa-napa. Gue bersyukur lo buka mata lo lagi, kak. Gue bersyukur." Tangis Sean berubah menjadi tangis haru. Tak berapa lama pak satpam datang, lalu ia membantu Sean untuk membawa Zean ke rumah sakit.

......

Sean duduk di samping kakaknya setelah lelaki itu mendapat perawatan intensif dari dokter selama hampir satu jam. Kondisi Zean telah dinyatakan stabil karena dokter bilang Sean berhasil menyelamatnya di waktu yang tepat.

Tapi jika saja Sean datang terlambat kurang dari satu menit saja, dokter pastikan bahwa nyawa Zean mungkin tidak akan tertolong lagi.

Sean bersyukur. Sangat bersyukur. Ia tatap wajah kakaknya yang masih terpejam dengan alat pernapasan yang menutupi mulut dan hidungnya.

"Sebenarnya apa yang terjadi, sampai lo harus loncat ke kolam? Padahal lo sendiri tau kalau lo bakal tenggelam karena gak bisa berenang. Dasar abang bodoh," ujar Sean menatap sendu kembarannya itu.

"Sebelumnya lo gak pernah berbuat hal seperti ini. Gue tau lo sekuat apa, bang," tambah Sean bermonolog.

"Apa Zean sempat keluar rumah?"

"Iya den. Tapi sekarang sudah pulang lagi. Dia ada dikamarnya."

Tiba-tiba Sean teringat dialognya dengan Bik Ani. "Zean loncat ke kolam setelah menemui Kanaya," gumamnya seraya berpikir.

Lalu Sean teringat kejadian saat Kanaya menampar Rinjani di tengah aula.

Sean mulai berpikir keras. Karena mungkin saja semuanya berkaitan.

"Apa Kanaya mengatakan sesuatu sama Zean?"

Sean menghela napasnya. "Tapi apa?"

Shit. Sean merasa buntu dengan pikirannya sendiri. Namun sekarang ia sangat yakin, bahwa alasan kemarahan Zean adalah karena perkataan Kanaya.

"Ck."

Sean berdecak kesal. Ia pun bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah sofa, lalu segera merogoh ponselnya dan mendial nomor Kanaya.

Sean ingin menuntut jawaban dari Kanaya. Karena gadis itu sudah melampaui batas hingga membuat Zean nyaris kehilangan nyawa.

Di nada dering kelima akhirnya Kanaya menjawab telpon Sean.

"Kanaya," panggil Sean pelan.

"Hm?"

"Apa yang lo lakukan ke Zean?"

Disebrang, Kanaya mengernyit alis. "Gue?"

Sean menghela nafas lantas melirik Zean yang masih belum siuman. "Apa yang udah lo katakan ke Zean? Bicara sekarang juga." tekannya.

Silent Love (END)Where stories live. Discover now