044. Dont cry

2.4K 142 25
                                    

Mungkin aku gak pernah makan dengan enak selama ini, Nda. Karena makan tanpa disuapi bunda rasanya hambar."

Rinjani menatap sendu. Menggunakan kedua tangannya ia tangkup wajah tirus putranya untuk kesekian kali.
"Maafkan bunda, Zean."

Rinjani menunduk sejenak. Lalu mengulangi perkataannya. "Maafkan bunda."

Zean mengangkat alis. "Untuk apa?"

"Untuk kesalahan bunda selama ini. Bunda udah gila. Bunda kehilangan akal. Bunda udah bikin kamu menderita setiap hari." Air mata Rinjani yang sejak tadi membendung akhirnya jatuh merambas. Bayangan wajah putranya yang kesakitan kembali muncul. Dan itu amat menyakiti hati Rinjani.

"Setiap detik, Bunda cuma ngasih kamu luka. Bunda cuma memerhatikan Sean. Dan mengacuhkan pertumbuhan kamu hingga remaja."

Zean menggeleng. Ia sigap mengusap dua sungai yang mengalir di wajah Rinjani dengan Ibu jarinya.

"Zean maafkan bunda. Zean sudah melupakannya."

"Tapi kesalahan Bunda terlalu banyak, Ze. Bunda udah jadi Ibu yang buruk untuk kamu."

Zean menggeleng lagi. "Yang menyakiti Zean itu bukan bunda yang asli. Dia bunda yang palsu. Karena bunda yang asli adalah bunda bicara dengan Zean sekarang. Bundanya Zean punya hati yang lembut. Bundanya Zean suka buatkan salad kesukaan Zean setiap hari."

Tanpa sadar, senyum Rinjani langsung mengembang. Ia terharu. Kata-kata itu membuat hatinya terasa lebih baik. Bahkan tanpa suara pun, Zean bisa membuat Rinjani menjadi seorang Ibu yang paling bahagia.

Detik itu juga Rinjani bangkit dan memeluk tubuh Zean. "Bunda sayang kamu, Ze. Bunda sayang kamu."

Zean membalas pelukan Rinjani kemudian menutup mata. Jika dunia berakhir hari ini, maka Zean tak akan menyesal. Karena ia telah mendapatkan pelukan bundanya kembali.

Setelah puas, Rinjani kembali duduk. "Terimakasih karena kamu sudah tumbuh dengan baik putraku."

"Terimakasih juga untuk Bunda yang sudah membuat Zean tumbuh sampai hari ini."

Rinjani tersenyum pedih. "Terimakasih banyak sudah mau memaafkan Bunda."

Zean mengangguk. "Sampaikan juga ke Papa, kalau Zean sudah memaafkannya."

Rinjani terdiam sejenak. Merasa sedikit aneh. "Kamu bisa menyampaikannya sendiri kan, sayang. Papa pasti kesini lagi."

Zean mengangguk sebagai tanggapan.

"Ada banyak hal yang mau Zean lakukan dengan Bunda dan Papa kalau Zean udah pulih lagi," kata Zean tampak heboh.

"Oh ya? Apa itu sayang?"

"Banyak, Nda. Zean sudah mencatat semua kegiatan itu dibuku harian Zean. Bukunya ada di rak buku di kamar Zean."

Mata Rinjani melebar. "Kalau gitu, nanti Bunda harus lihat buku kamu dan wujudkan semua hal itu, Ze. Bunda janji, akan melakukan semua hal yang kamu inginkan."

Bibir Zean melengkung ke atas. "Bunda serius?"

"Serius. Setelah kamu pulang dari sini, kita akan melakukannya sama-sama."

"Terimakasih, Bunda."

"No. Bunda yang harusnya berterimakasih."

"Zean mau itu lagi, Bunda."

Rinjani menatap mangkuk salad yang Zean tunjuk dengan raut manjanya. Sungguh terlihat menggemaskan. Persis Zean kecil yang selalu merengek untuk disuapi.

Silent Love (END)Where stories live. Discover now