012. Caught

2.4K 144 0
                                    

"Kenapa jam segini baru pulang?" Suara berat dan tegas itu mengintrupsi kedatangan Kanaya di ambang pintu rumahnya.

Itu suara Reyhan. Dan disampingnya, ada Nina.

"Naya main di rumah Seira," jawab Kanaya dengan tangan yang bergerak perlahan menutup pintu.

"Berapa puluh kali kamu mau bohongin orangtua kamu, Kanaya Sabila?" tanya Reyhan, menatap putrinya itu dengan raut datar.

Kanaya menggigit bibirnya ke dalam. Sial. Apakah ibunya sudah melapor pada ayahnya soal kebohongan yang ia lakukan kemarin?

Jika iya. Maka ia dalam masalah besar sekarang.

"Bo-bohong apa?" tanya Kanaya berlagak polos.

Nina melangkah maju ke arah Kanaya. Wajahnya tak menunjukkan riuk menyenangkan sedikit pun. "Dalam perjalanan pulang dari kantor tadi, ayah lihat kamu berboncengan sepeda sama anak cowok. Apa itu benar?"

Mata Kanaya membelalak. Ia tatap wajah Reyhan yang kini menatapnya tajam. "I-itu.... ayah mungkin salah liat."

"Ayah gak mungkin salah mengenali putri ayah sendiri," ucap Reyhan kemudian ikut melangkah maju pada Kanaya. "Siapa lelaki itu? Pacar kamu?"

"Bukan!" elak Kanaya cepat.

Nina menghela nafas. "Kamu ini masih anak SMA. Buat apa cinta-cintaan? Apa yang kamu dapatin dari cinta monyet kamu itu?"

"Bukan ih! Dia bukan pacar Naya! Demi Allah, Mah, Yah. Suer deh." Kanaya menunjukkan huruf V dengan jarinya guna meyakinkan.

"Kalau begitu?" sedikit Reyhan.

"Dia.... Teman. Cuma teman doang," jawab Kanaya sambil manggut-manggut.

"Teman sekolah?" cecar Nina.

Kanaya berdecak pelan. Ia jadi bingung harus mengutarakannya dari mana dulu. "Bukan."

"Berarti dia teman online kamu begitu? Kalian baru ketemu hari ini? Apa kamu gak tau bahayanya ketemu dengan orang yang kamu kenal di sosial media itu?" Reyhan menggeram marah, sebab langsung menyimpulkan sendiri.

"Bukan, ayah!" Kanaya merengek kesal. Kenapa pikiran orangtuanya selalu negatif? Kanaya benar-benar heran.

"Lalu? Coba kamu jelaskan secara rinci. Tanpa ada kebohongan," tuntut Reyhan yang semakin penasaran.

"Oke-oke. Tapi kaki Kanaya pegel nih berdiri terus. Ayo kita duduk dulu di sofa." Dengan santainya Kanaya menarik tangan kedua orangtuanya menuju sofa ruang tamu.

Reyhan dan Nina hanya saling melirik namun tak urung mengikuti suruhan gadis itu.

Kanaya kini duduk dihadapan kedua orangtuanya yang terhalang meja.

"Jadi anak cowok itu siapa?" tanya Nina kembali mengintrogasi.

Kanaya menarik napas pasrah. Ia akan jujur sekarang. "Mamah sama ayah inget gak kejadian waktu Kanaya nyaris di lecehkan di jalanan yang sepi tiga bulan lalu?"

Reyhan dan Nina kompak mengangguk.

"Cowok itu adalah orang yang udah nolongin Kanaya."

Bola mata Nina langsung melebar. Sementara wajah Reyhan masih tetap lempeng seperti papan triplek.

"Kenapa kamu tidak bicara jujur pada kami?" tanya Reyhan dingin.

Kanaya menyengir kaku sebelum menjawab, "Kanaya takut kalian gak ngizinin Kanaya buat berteman sama dia."

"Nggak kok," ujar Nina cepat. "Siapa nama anak itu?"

Kanaya terdiam, sediki curiga. "Zean."

"Hari minggu undang dia ke rumah ini ya? Mama mau mengucapkan terimakasih secara langsung sama dia karena udah nolongin kamu waktu itu."

Reyhan mengangguk setuju. Ia pun bangkit dari duduknya seraya berkata. "Kami bersikap begini karena kami menyayangi kamu. Kami gak mau kehilangan kamu seperti kehilangan kakakmu." Setelah mengatakan itu Reyhan pergi ke kamarnya.

Kanaya langsung terdiam. Nina pun tersenyum dan segera menghampiri putrinya yang tampak cemberut. Mengusap rambut gadis itu penuh sayang. "Mama dan ayah sadar kalau kami terlalu mengekang kehidupan kamu. Tapi ini kami lakukan untuk kebaikan kamu. Kami benar-benar gak mau ditinggalkan dengan cara tragis seperti kakakmu, Naya. Karena kami sangat terpukul."

Cup.

Kecupan hangat Nina bubuhkan di kening Kanaya. Bersamaan dengan air mata yang luruh melalui pipinya.

"Maafin Kanaya, Mah. Kanaya yang gak ngerti kasih sayang kalian," ucap Kanaya seraya mengusap air mata ibunya.

.
.
.

Silent Love (END)Where stories live. Discover now