015. They forget?

2.4K 137 0
                                    

"Naya. Ini buat kamu."

Kanaya yang asik mengunyah cemilan sambil nonton tv melongo saat Nina tiba-tiba saja menghampirinya dan memberi sebuah kotak berukuran sedang kepadanya. "Apa ini?"

Nina tersenyum. "Nanti malam ikut mama sama ayah yah. Pake gaun ini."

"Kemana?"

"Pesta ulangtahun pernikahan rekan ayah kamu."

Kanaya menggeleng cepat. Menyerahkan lagi kotak berpita dipangkuannya pada Nina yang duduk disebelahnya. "Nggak. Acara orang dewasa itu mem-bo-san-kan."

Nina menghela napas. "Ayahmu udah janji mau bawa kamu ke sana, sayang."

Kanaya berdecak. "Terus udah itu disana Naya ngapain, Mah? Paling plonga plongo kayak orang linglung."

"Katanya rekan ayah kamu juga punya anak seumuran kamu. Nanti kamu bisa ngobrol sama dia. Kamu kan gampang akrab orangnya, Nay."

Kanaya cemberut. "Emang sepenting itu sampai harus maksa Kanaya buat ikut?" tanyanya heran.

Nina menganguk. "Ayah kamu sedang ada proyek besar-besaran. Dan di acara malam nanti dia mau bujuk direktur itu buat mau kerjasama dengannya."

Kanaya terdiam menimang, sambil terus melahap camilan-camilan di atas meja.

"Nay, Mau yah? Anak mama kan berbakti sama orangtua."

Kanaya berdehem. "Yaudah deh. Kalo itu buat kelancaran bisnis ayah. No problem."

Nina tersenyum senang dan mengusap kepala putrinya itu. "Gaunnya warna biru. Pasti cocok sama kamu."

Kanaya terdiam. Mendengar warna biru mengingatkannya pada Zean.

......

Brughh!

Tubuh Zean terpental menghantam meja belajarnya karena tak siap akan tendangan Radith.

Zean meringis. Sakit? Tentu.

"PUTUSKAN HUBUNGANMU DENGAN GADIS ITU!!"

Radith sangat murka. Ia mencengkram kerah baju Zean lalu memukul wajah anaknya itu beberapa kali.

"Selain bisu apa sekarang kau jadi tuli hah?! Kenapa kau selalu tidak mendengar perintah saya?!"

Zean terbatuk kuat begitu Radith berhenti meninju wajahnya. Dirinya pun mengusap darah yang keluar dari gusi-gusinya.

"Anak menjijikan."

Zean menoleh ke arah pintu. Menatap kaget kedatangan Rinjani.

Wanita berkulit putih yang sangat membeci kehadirannya di rumah ini, yang mati-matian selalu Zean hindari sebab tau kalau kemunculannya akan membuat Rinjani sangat murka hingga hilang kendali.

"Apa dia pacarmu?" tanya Rinjani pada Zean. "Katakan?! Kenapa ada orang yang sudi berada didekatmu?!" Rinjani menatap nyalang wajah babak belur dihadapannya. Wajah yang sangat ia benci. Wajah yang tak pernah lagi menyenangkan bagi hatinya.

Zean hanya tersenyum getir ditanyai seperti itu.

Dengan berbagai rasa sakit di tubuhnya ia berupaya berdiri tegak, menjadikan meja belajar dibelakangnya sebagai tumpuan. Zean menyelami tatapan benci dari kedua orangtuanya.

"Kalian dulu sangat menyayangi Zean. Buktinya kalian mengerti bahasa isyarat untuk mengerti ucapan Zean. Apa kalian sudah lupa?"  tanya Zean dengan bahasa isyaratnya.

Rinjani dan Radith saling melempar pandangan. Diantara keduanya, seolah sama-sama tak ingin mengakui. Bahkan mengingatnya.

Hari-hari dimana mereka sempat menerima kekurangan Zean.

"Kalian dulu sudi berada didekat Zean. Menyuapi Zean makan. Menenangkan Zean saat takut. Tapi sekarang, kenapa kalian malah membuat Zean takut?"

Tidak ada sepatah kata yang keluar dari mulut Rinjani, pun Radith.

Dengan air mata yang menggenang, Zean memperlihatkan darah dikedua tangannya  didepan wajah Radith.

"Papa membuat Zean banyak berdarah-darah setiaphari. Hanya karena Zean pergi menemui seorang gadis. Hanya karena Zean ingin mempunyai teman. Apa sehina itu Zean dimata kalian berdua?"

"Hentikan!!" Rinjani menutup dua telinganya dengan telapak tangan. Ia tak ingin lagi tahu banyak tentang keluhan anak itu. "Hentikan!! Saya tidak pernah menyayangimu! Jangan ingatkan saya tentang itu!"

Radith mendesis marah. "Itulah masalalu yang kami sesali. Seharusnya dari dulu kami sadar dan membiarkan anak sakit mental sepertimu mati kelaparan!!"

Rinjani mengangguk setuju. "Aku menyesal melahirkannya. Aku menyesal melahirkan anak cacat!!"

"Aku pun menyesal," sambung Radith. Kedua tangannya mengepal kuat. "AKU MENYESAL TELAH MEMBESARKAN KAMU ZEAN!!"

Untuk pertama kalinya, air mata Zean berlelehan didepan mata kedua orangtuanya. Pekikan dan Teriakan mereka terngiang dikepalanya tanpa henti. Setiap hari.

Tapi hari ini, puncak paling menyakitkan.

"Zean juga tidak pernah meminta dilahirkan di rahim Bunda atau jadi anaknya papa. Kalian yang membuat Zean hadir. Lalu kalian juga yang mengutuk Zean agar tidak hadir. Kenapa?"

Plak!

"Kami hanya mengharapkan anak yang membanggakan seperti Sean. Dia pintar dan mempunyai banyak prestasi. Tidak sepertimu yang tidak bisa melakukan apa-apa!" seru Radith begitu tajam.

"Kamu hanya menjadi benalu di rumah besar ini. Apa itu tidak membuatmu malu?" tanya Rinjani.

Zean terdiam. Tapi air matanya terus mengalir.

"Tidak usah berekting!! Air matamu tidak akan pernah meluluhkan hati saya!!" ujar Rinjani muak.

"Zean memang bisu. Tapi Zean juga manusia yang punya hati."

"Zean bisa marah, sedih, sakit hati dan kecewa. Hanya saja Zean tidak mampu berteriak seperti kalian."

"Zean hanya memendam semuanya di sini."  Zean menekan dadanya yang selalu berdenyut sakit itu.

"Kamu pikir saya juga tidak kecewa memiliki anak seperti kamu?" tanya Rinjani.

"Saya kecewa!! Saya sangat kecewa!!" pekiknya lagi sebelum pergi dari ruangan itu.

"Jika saya tahu kamu masih berhubungan dengan gadis itu. Saya akan bertindak lebih jauh dari yang kamu bayangkan," ancam Radith. Ia pun berjalan pergi meninggalkan Zean.

"Dan satu lagi." Radith menghentikkan langkahnya tepat di dekat pintu. Tanpa menoleh ia berucap. "Jangan berani muncul di acara ulangtahun pernikahanku malam ini."

.
.
.
.
.
.
.
.

Silent Love (END)Where stories live. Discover now