031. Change

1.7K 113 0
                                    

Kanaya bersedekap dada begitu melihat Zean tiba di rooftop. Cowok tampan itu akhirnya datang, menatap Kanaya dengan mata menyipit karena silau terik mentari.

"Gimana? Lancar belajar barengnya?"

Zean mengangkat alis.

"Gak usah pura-pura bingung," ketus Kanaya.

"Apa yang mau kamu bicarakan?"

Kanaya menatap heran. Bukan menanyakan alasan dirinya marah, tapi Zean malah menanyakan hal lain.

"Kamu berubah, Zean. Berubah sembilan puluh derajat!"

Zean menghela napas. "Disini panas. Ayo bicara disana."

"Sedeket itu kamu sama Maureen, Ze?"

Pertanyaan Kanaya sukses menghentikkan langkah Zean. Cowok itu akhirnya putar balik. Kembali menghadap Kanaya.

"Aku sama dia cuma belajar bareng."

"Cuma belajar bareng?" Kanaya terkekeh. "Belajar bareng itu sampai harus usap-usap kepala ya?"

Zean terdiam.

"Aku heran, Ze. Aku bener-bener gak ngerti apa yang kamu lakuin ke Maureen tadi!" seru Kanaya kesal.

"Tolong jelasin semuanya."

Zean menarik napas perlahan. Ia sangat bingung. "Kalau kamu melihatnya sendiri, aku gak bisa berbohong."

Kanaya mengernyit. "Jadi, Maureen orangnya?"

Zean tidak mengelak, maupun mengiyakan. Melihat itu Kanaya mendengus geli.

"Ohh begitu. Oke-oke. Mulai sekarang aku gak akan usik hidup kamu lagi. Aku bakal tutup rapat-rapat mata dan telinga aku. Aku bakal lupain semua tentang kamu. Aku bakal lupain kalau orangtua kamu adalah pembunuh kakak aku!"

"Mulai sekarang, kamu bebas."

Jleb.

Zean mengigit bibir. Kenapa dadanya terasa sangat sesak?

"Ini yang kamu mau kan?"

Meski sulit, Zean memberanikan diri untuk menatap mata Kanaya lagi. "Maaf kalau aku buat kamu sedih."

"Ohh nggak-nggak kok. Santai aja. Aku gak sedih. Aku gakpapa," ucap Kanaya sambil tersenyum. "Semoga kamu bahagia dengan pilihan kamu. Dan kali ini aku gak akan pernah benci kamu walaupun ini balasan kamu buat aku."

Lagi-lagi, dadanya berdenyut nyeri. Tapi Zean tetap berusaha tenang. "Aku juga berharap kamu selalu bahagia."

Kanaya mengangguk. Tapi ia tak pandai berekting. Wajahnya terlihat kentara menahan tangis. "Hmm. Oke, Zean. Senang mengenal kamu. Mulai besok dan seterusnya, aku akan berusaha buat gak nyapa kamu lagi. Lagipula aku harus tau diri. Nanti Maureen cemburu."

Zean mengangguk. "Terimakasih sudah mengerti."

"Aku ke kelas."

Kanaya buru-buru pergi dari hadapan Zean, karena takut tangannya mencakar wajah lelaki itu.

Tiba di bawah, Kanaya berjalan menuju toilet. Lebih baik ia lampiaskan amarahnya di tempat itu supaya aman.

"Sialan! Sialan! Cowok sialan! Brengsek!"

Ia mengumpat sepanjang jalan.

"Maureen sialan! Bang--"

Kanaya membeku saat melihat seorang gadis yang berdiri didepan cermin toilet.

"Sat."

Maureen mengangkat alis. "Gue?"

Kanaya berjalan ke arah Maureen. Matanya semakin menyalang. "Ya! Lo bangsat!"

Maureen memutar bola mata. "Serah lo."

"Sejak kapan lo kenal Zean hah?"

"Sejak kecil. Gue temannya sejak kecil. Tapi kami berubah status sekarang."

Kanaya mendengus. Kedua tangannya mengepal kuat. "Jadi bener ya? Lo adalah orangnya."

"Ya. Gue memang orang yang Zean suka sejak dulu. Dan lo, gak lebih dari seorang te-man. Tapi kenapa lo berharap lebih?"

"Sialan." Kanaya menyeringai. Tangannya terangkat hendak memberi tamparan pada wajah mulus Maureen namun, seseorang lebih dulu menahan tangannya.

"Zean?" Kanaya menatap tidak percaya pada sosok lelaki yang berdiri di sampingnya.

"Kamu mau melukainya?"  tanya Zean dengan raut marah.

"Apa kamu tau seberapa berharganya Maureen buat aku?"

Kanaya terdiam.

"Zean. Aku gakpapa kok. Jangan salahin dia," ucap Maureen.

"Maaf." Kanaya menunduk sambil meremas jari tangan.

Zean langsung menarik Maureen pergi dari toilet. Tanpa menghubris permintaan maaf Kanaya.

Kanaya tahu, ia dicampakkan.

Ia direndahkan.

"Arghh!" Kanaya menendang tong sampah bak orang kerasukan. "Gue minta maaf, tapi lo malah ninggalin gue Zean!!"

Bertepatan dengan itu, salah satu pintu toilet terbuka dan seseorang keluar dari sana dengan raut cemas.

"Nay! Berenti!"

Pekikan Seira menghentikkan aksi Kanaya. Kanaya menatap Seira dengan raut kacaunya.

"Ra. Bantuin gue buat cari bukti soal pembunuhan kakak gue."

.
.
.
.
.
.
.

Silent Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang