053. Everyone broken

1K 75 7
                                    

Setelah meninggalkan gedung tahanan, mobil Sean melaju ke salah satu RSJ yang letaknya cukup jauh dari kawasan kota.

Tiba disana Sean langsung menemui perawat yang mengawasi perkembangan pasien. "Gimana kondisinya, sus?"

"Masih sama. Dia enggan makan atau minum. Dan dia sering menangis histeris di jam tiga pagi."

Sean pun terdiam. Lalu akhirnya bangkit berdiri. "Kalau gitu saya masuk dulu."
Perawat mengangguk. Sean berjalan menuju salah satu kamar pasien yang bertuliskan nama 'Rinjani.'

Ceklek.

Begitu pintu terbuka, Sean langsung menemukan siluet wanita berpakaian serba biru tengah duduk termenung di tepi kasur.

Suara pintu bahkan tak membuat wanita itu menoleh. Ia hanya terus menatap lurus ke luar jendela yang tak jauh dari ranjang. Tatapan Sean beralih pada wadah makanan dan air minum di nakas yang sepertinya tidak tersentuh sejak pagi.

Sean pun melangkah pelan mendekati Rinjani.

Lantas memberi senyuman saat tiba didepan Rinjani. Rinjani pun ikut tersenyum. "Zean?"

Deg.

Senyum dibibir Sean luntur ketika nama itu yang Rinjani sebut. Wanita itu langsung berdiri ke hadapan Sean. Menatapnya dengan binar bahagia di mata. "Zean, Bunda kangen sama kamu, Nak."

Sean tersenyum tipis.

Tangan Rinjani terangkat menyentuh wajah Sean. "Kenapa lama sekali datangnya? Bunda selalu nunggu kamu setiap hari."  Jemarinya menyusuri setiap lekuk pipi Sean yang tirus.

Sean menangkup tangan Rinjani dipipinya. Lalu dalam hati berbisik. Nda.... kenapa bunda sehancur ini?

"Hei, kenapa kamu nangis, Ze?" Dengan lembut Rinjani mengusap air mata yang keluar. Sean semakin tak bisa menahan dirinya.

"Bunda disini cuma sebentar. Nanti Bunda dibolehin pulang kok. Jangan nangis ya." Rinjani langsung memeluk tubuh Sean yang ia anggap Zean. Mengusap-ngusap punggungnya berusaha menenangkan.

"Iya bunda tahu. Nanti kamu mau jalan-jalan sama Bunda dan Papa. Kamu mau makan malam bersama setiap malam. Nanti kita lakukan bersama ya," ujar Rinjani begitu lembut.

"Nda.... Zean udah gak ada. Ini Sean."

Begitu mendengar suara itu, tubuh Rinjani langsung mundur. Ia mengernyit. Menatap bingung serta tak percaya. "Sean?"

Sean mengangguk. "Ini Sean."

"Zean gak ada kemana? Dia lagi apa?"

Sean menelan ludahnya kuat. "Nda.... ayo sembuh. Jangan kayak gini."

Kerutan di kening Rinjani semakin dalam. "Dimana Zean?"

"Dia udah pergi ninggalin kita."

Rinjani langsung diam membeku. Tak lama ia memegangi kepalanya yang tiba-tiba sakit.

"Ndaa.... kenapa?"

"PERGI KAMU! PEMBOHONG!" Rinjani mendorong tubuh Sean seraya berteriak. Ia kemudian mengambil piring dan gelas di nakas dan melemparnya pada Sean.

"PERGIIII! JANGAN DATANG KE SINI!!"

"Ada apa?" perawat datang. Melihat Sean terluka disudut ruangan, ia segera menariknya menjauh dari Rinjani yang sedang memukuli terus menerus.

Dua Perawat lain datang membawa obat bius. Menyuntikkan pada Rinjani hingga Rinjani tertidur pulas dalam hitungan detik.

"Luka anda harus diobati," ujar perawat wanita muda pada Sean yang tengah meringis.

Sean menggeleng. "Gakpapa, sus. Apa ibu saya baik-baik aja?"

Perawat mengangguk. "Dia hanya diberi obat bius."

Sean pun tersenyum. "Kalau gitu saya ke toilet dulu, mau membersihkan baju." Ia memperlihatkan bajunya yang kotor karena terkena makanan.

Perawat mempersilahkan. Sean pergi  menuju toilet.

Tiba disana, bukannya membersihkan noda di baju. Sean malah memandang pantulan wajahnya di cermin. "Orang-orang begitu tersiksa karena wajah ini sangat mirip dengan lo, Zean."

Lagi-lagi air mata merambas jatuh. "Apalagi gue. Setiap lihat wajah ini, gue sering nyangka kalau didepan gue adalah lo. Gimana gue bisa mengatasi ini sendirian?"

Sean menekan keran, lalu membasahi wajahnya yang tak berhenti mengeluarkan air mata. "Gue capek nangis terus. Gue mau sembuh. Gue mau belajar ikhlas. Tapi gimana caranya?"

Ujarnya lagi pada wajah dalam cermin. "Gak ada yang tersisa setelah lo pergi. Bunda masuk rumah sakit jiwa. Papa dipenjara. Dan gue, mati rasa. Lalu Kanaya, dia seperti manusia robot sekarang."

Karena satu kelas, Sean tahu bagaimana Kanaya menjalani hari di sekolah setelah Zean pergi. Kanaya selalu menjauh darinya. Sean tahu alasannya. Karena wajah ini selalu mengingatkan Kanaya pada Zean. Sean tahu Kanaya akan gagal menjadi kuat ketika melihat wajahnya lebih lama.

Hampir tiga bulan lamanya, Kanaya berubah dingin. Tak pernah ada percakapan lagi antara dirinya dan gadis itu.

"Semua orang hancur. Gak ada yang baik-baik aja setelah kepergian lo, Zean."

Drt. Drt.

Sean mengambil ponsel dalam saku celana. Mengangkat telpon dari seseorang, yang barusaja Sean sebut namanya.

"An. Udah lama gak ngobrol. Bisa kita ketemu malam ini?"

Suara Kanaya memenuhi pendengarannya.

"Halo?" 

Sean mengerjap dari lamunan saat di sebrang Kanaya terus memanggilnya. "Hm. Bisa, Nay."

.
.
.
.
.
.
.
.

Silent Love (END)Where stories live. Discover now