020. Forced

2.3K 142 2
                                    

Brak!!

"Apa kalian berdua membunuh seseorang?!"

Radith dan Rinjani saling menatap satu sama lain dengan raut terkejut. Kedatangan Sean yang membuka pintu kamar dengan kasar membuat dua orang itu kebingungan.

"A-apa maksud kamu?" tanya Rinjani seolah bingung.

Sean mendengus lantas berjalan mendekat ke arah orangtuanya. "Kalian berdua sudah melenyapkan nyawa anak oranglain. Apa itu benar?"

"Omong kosong apa yang kamu bicarakan, Sean," kilah Radith.

"Dua tahun lalu. Perempuan bernama Raya yang sering menemani Zean di panti asuhan tiba-tiba aja meninggal karena kecelakaan. Sekali lagi Sean tanya. Apa benar kecelakaan itu ulah kalian?" tanya Sean tajam.

"Raya? Siapa dia? Kami bahkan baru mendengar namanya." Sekali lagi, Radith menyangkalnya.

Sean mendesis lalu beralih menatap Rinjani yang sedikit panik. "Bunda. Apa Papa bicara jujur, atau, berbohong?"

Rinjani menatap Sean. "Papamu, papamu tidak berbohong, Sean."

"Apa kalian tau siapa adiknya Raya?"

Radith mengernyit alisnya. "Sudah kami bilang kami tidak melakukan itu Sean."

"Kanaya. Dia gadis sma yang waktu itu pernah berkunjung kemari. Bunda pasti tahu karena waktu itu bunda pulang lebih awal."

Mata Rinjani membelalak. "Anak itu?" Tentu Rinjani mengingat gadis itu. Gadis yang mengaku sebagai temannya Zean.

"Dia mendengar percakapan kalian soal Raya saat di acara kemarin. Bunda pikir kenapa Kanaya tiba-tiba nampar Bunda di tengah aula?"

Rinjani membekap mulutnya kaget. Ah benar. Ternyata gadis itu adalah gadis yang sama.

"Sean gak nyangka kalian bisa bertindak sejauh ini hanya karena tekad kalian yang ingin membuat Zean hidup tanpa berinteraksi dengan siapapun. Tanpa seorang teman. Apa kalian benar-benar orangtua Sean dan Zean?"

"Tutup mulutmu, Sean. Apa kamu berhak menuduh orangtua kamu seperti ini? Apa kamu punya bukti?" tanya Radith geram. "Dan untuk apa kamu mempercayai ucapan gadis itu? Dia bisa saja hanya mengarang cerita."

Sean terdiam.

"Asumsi kamu sudah menyakiti hati kami. Sebagai orangtua, papa sangat terluka karena kamu lebih mempercayai oranglain dibanding kami sendiri," tambah Radith.

"Tapi Sean lebih percaya kalau kalian memang membunuh Raya."

"Sean!" sentak Radith.

"Karena kebencian kalian pada Zean sudah membutakan mata dan hati kalian sendiri. Dan setelah dipikirkan lagi, selama dua tahun ini bunda sering mimpi buruk bukan?"

Rinjani menelan ludahnya.

"Bunda sering berteriak kalau bunda gak membunuh. Apa itu, ketakutan yang nyata?"

"SEAN MAHESYAKA! PAPA PERINGATKAN KAMU UNTUK DIAM!"

"UNTUK APA BUNDA DAN PAPA MELAKUKAN HAL KEJI ITU?!" Sean menyerang balik. Kedua tangannya mengepal kuat. Matanya pun sedikit berlinang. "Untuk apa? Katakan?"

"Kami terpaksa," jawab Radith akhirnya. Matanya tak lagi berani menatap mata Sean. "Kami terpaksa melakukan itu."

"Paksaan apa yang membuat kalian berdua berani menghilangkan nyawa seseorang?"

"Itu semua karena Zean." Radith kembali menatap putranya. "Raya mengumpulkan banyak bukti tentang kekerasan yang sering papa dan Bunda lakukan. Jadi, agar kami berdua bisa lolos dari tuntutan hukum. Kami harus membunuhnya."

Sean bergeming. "AARGHHH!!"

Sean berbalik dan meninju dinding dengan kuat. "Kalian bukan orangtua. Kalian gak pantas disebut orangtua."

"Kami tidak mau di penjara, Sean." Rinjani menangis tanpa suara. Ia mendekat berniat menenangkan putra tersayangnya itu namun,

"Jangan dekati Sean."

"Tangan kalian itu kotor!"

Rinjani menggeleng. Air matanya bercucuran semakin banyak. "Sean. Bunda minta maaf."

"Sean gak butuh," balas Sean.

"Papa bilang itu karena Zean?" Sean kembali menghadap Radith yang senantiasa menunjukkan raut tenang.

Radith mengangguk.

"Bisa papa katakan apa salah dia?"

"Dia sudah berjanji tidak akan berinteraksi dengan siapapun, apalagi berteman. Tapi dia mengingkarinya," jawab Radith datar.

"Papa pikir dunia ini milik papa?"

Radith terdiam.

"Papa pikir garis kebahagiaan Zean ada ditangan papa dan Bunda?" Sean menatap Rinjani yang sudah tersedu.

"KALIAN PIKIR ZEAN HIDUP DENGAN OKSIGEN DARI KALIAN?!"

Keduanya terdiam.

"Bukan," bisik Sean. "Tuhan yang memberi Zean oksigen untuk bernapas. Tuhan yang memberi Zean kaki untuk berjalan. Dan Tuhan juga mengatur garis kebahagiaan untuk Zean."

"Dalam kurung, Zean pantas bahagia."

Air mata Sean luruh. Ia tatap kedua orangtuanya secara bergantian. "Dia pantas di cintai walaupun terlahir sebagai orang bisu. Dia pantas berkawan dengan banyak orang walaupun dia gak bisa bicara. Karena diluar sana, ada banyak orang seperti Zean. Tapi orangtua mereka menerimanya! Bahkan mereka memperlakukan anak seperti Zean dengan sangat istimewa! Mereka di masukan ke sekolah khusus tunawicara supaya mereka bisa berinteraksi dengan banyak orang. Tapi kalian?"

Sean mengusap air matanya seraya tersenyum miris. "Bahkan Sean harus ngemis dulu ke kalian agar Zean bisa Home schooling."

"Kalau aja, Sean yang terlahir bisu, bukan Zean. Apa kalian akan melakukan hal yang sama ke Sean?"

"Tidak. Kami sangat menyayangimu," jawab Radith.

"Sean kesayangan Bunda. Mana mungkin bunda menyakiti kamu, Nak," sahut Rinjani.

"Lalu Zean? Apa dia bukan darah daging kalian?"

"Bunda tidak bisa menyangkal. Tapi bunda menyesal melahirkannya."

Sean mengerutkan keningnya. "Bunda...."

"Kenapa?" Rinjani mengangkat alis. "Bunda tau Zean mencoba bunuh diri dengan meloncat ke kolam. Tapi hati Bunda gak tergerak untuk melihat keadaan dia di rumah sakit. Kamu tau kenapa?"

"Karena Bunda tidak peduli dia masih hidup atau mati."

.
.
.
.
.
.
.
.

Nexttt gaaa

Silent Love (END)Where stories live. Discover now