003. A gift

3.7K 211 0
                                    

"Nayaaa. Kanayaaa. Kamu pesen paket apalagi ini?"

Kanaya mengerang kecil dalam tidur nyenyaknya. Akibat suara pekikan sang ibu yang luarbiasa heboh itu akhirnya membuat Kanaya terpaksa membuka kedua matanya.

"Paket?" Kanaya mengerjap, lalu segera berangsur dari kasur dan membuka pintu kamar. "Paket Naya udah datang, Ma?"

"Pagi-pagi begini mama udah harus nerima paket yang kamu pesen. Lain kali coba kamu sendiri yang ambil."

Bukan mendengarkan omelan ibunya, Kanaya malah langsung menyambar paket yang ada di tangan wanita baya itu. "Iya lain kali Kanaya yang ambil paketnya."

"Kamu baru bangun?"

Kanaya mengangguk.

Nina pun menepuk jidatnya, capek. "Cepat ke kamar mandi. Kamu gak liat lima menit lagi pukul tujuh?"

Kanaya menoleh ke arah jam dinding, sebelum akhrinya kedua matanya membulat. "Jangan kasih tau Ayah kalau Kanaya bangun kesiangan!"

Kanaya bergegas mengambil handuk kemudian berlari ke kamar mandi, tentu setelah menyimpan paketnya di atas kasur. Melihat hal itu Nina hanya bisa geleng-geleng kepala. Dari dulu putrinya memang tidak berubah.

.....

Selesai mandi, Kanaya langsung bersiap dengan seragam sekolahnya. Untunglah saat turun ke bawah, Reyhan sama sekali tidak terlihat yang artinya ayahnya sudah berangkat ke kantor.

Sementara itu Nina sudah menyiapkan kotak sarapan untuk Kanaya. Karena putrinya itu tidak mungkin sarapan di rumah.

"Cepet berangkat. Hari ini dianternya pake motor supaya gak telat."

"Kanaya bawa motor sendiri?"

"Nggak. Dianter pak Toyib. Supaya kamu gak mabal."

"Hmm. Iya deh."

Kanaya menerima kotak makan yang Nina sodorkan, lalu menyalami tangan wanita itu seraya mengucap salam.

Kanaya berjalan keluar rumah dan segera naik ke atas motor karena pak Toyib sudah menunggu.

"Pegangan ya, Non. Pak Toyib bakal keluarin jurus menembus kepadatan jalan raya nih."

Kanaya terkekeh garing. Tangannya sibuk memakai helm. "Hmm iya deh. Asal jangan jurus menembus planet Neptunus."

Pak Toyib tertawa lalu mulai melajukan motor meninggalkan pekarangan rumah.

.....

Ze, apa kita bisa ketemu setelah
Aku pulang sekolah?

Selesai mengetikkan pesan chat pada Zean, Kaki Kanaya kembali mengayun melintasi lapangan dengan senyum yang menyungging di bibir.

Kanaya lega karena paket yang ia pesan malam tadi dapat sampai pagi ini sesuau permintaan Kanaya. Kanaya memang tidak mau menunggu lama karena paket itu adalah hadiah untuk Zean, yang tentu tidak mau Kanaya tunda-tunda untuk diberikan pada Zean.

"Nay."

Kanaya memutar tubuhnya ke belakang ketika mendengar suara tak asing itu.

"Iya, An?" balasnya menatap Sean dengan alis terangkat.

"Kemarin malam ponsel Zean jatoh ke kolam. Jadi sekarang mati. Jadi lo gak bisa ngirim chat apapun sama dia untuk sekarang."

Mendengar hal itu bibir Kanaya sontak mengerucut ke bawah. "Gue baru aja ngirim pesan chat sama dia."

Satu alis Sean terangkat. "Apa? Pinjem dulu seratus?"

Kanaya menggeleng. "Gue bilang gue mau nemuin dia setelah pulang sekolah. Gue mau kasih Zean hadiah sebagai ucapan terimakasih."

Sean hanya diam setelah melihat wajah Kanaya yang tampak sedih. Tapi tak lama, ada binar muncul di kedua mata gadis itu. Dan perasaan Sean mulai tidak enak.

"An, bantuin gueee," rengek Kanaya dengan tampang melasnya.

Sudah Sean duga. Kanaya akan memperalatnya lagi. "Lo ngasih hadiah buat kembaran gue doang. Buat gue nggak?"

"Kenapa gue harus ngasih hadiah ke lo?"

"Kalo bukan karena gue, lo gak mungkin bisa ketemu sama Zean. Kurang pengertian banget lo. Giliran sama Zean aja gercep."

Semakin hari Sean memang semakin menyebalkan dan sedikit tak tau malu pada Kanaya. Semenjak akrab, Kanaya jadi tahu bahwa Sean itu bukan cowok datar dan dingin seperti yang Kanaya lihat dulu. Nyatanya Sean itu adalah sosok lelaki pecicilan dan humoris.

Sean hanya bertingkah sok cool didepan para gadis yang mengejarnya. Karena Kanaya sudah tidak termasuk, Sean tidak segan untuk menunjukan sifat aslinya.

"Dih bilang aja lo iri sama Zean. Ya kan?" tebak Kanaya sambil menyipit matanya.

"Gue gak bisa bantu lo."

"Eh tunggu-tunggu!" Kanaya mencegat langkah Sean yang hendak kabur. Sean itu benar-benar suka mengancam. "Yaudah ntar gue kasih hadiah. Lo mau apaan?" tanya Kanaya dengan raut jutek.

"Nahh gitu dong." Senyum tercetak di bibir Sean. Lalu ia mulai memikirkan barang yang sedang ia incar. "Headphone."

"Oke."

"Tapi mereknya harus sama kayak yang dipakai Zean. Plus warnanya harus yang putih."

Kanaya mengerut alisnya. "Aneh banget permintaan lo."

"Oh ya, lo belum tau. Zean gak pernah mau punya barang yang sama persis dengan milik gue."

Kanaya kembali merasa heran. Hendak bertanya lebih dalam, tapi tiba-tiba terdengar suara bel masuk. "Pulang sekolah anter gue buat nemuin Zean pokoknya. Awas kalo lo kabur duluan!"

"Sip!" Sean mengacungkan jempolnya lalu berlari ke kelasnya.

.
.
.
.

Silent Love (END)Where stories live. Discover now