022. My choice

2.3K 138 0
                                    

Ceklek.

Keduanya menoleh bersamaan ke arah pintu ruangan yang barusaja terbuka. Sean berjalan masuk menghampiri Zean dengan napasnya yang memburu.

"Setelah lo keluar dari rumah sakit, lo harus ikut gue ke luar negri. Lo gak boleh nolak kali ini."

"Gue bakal nyeret lo menjauh dari Bunda dan papa, apapun caranya."

Mata Kanaya membulat mendengar itu. "Apa?!"

Zean menatap Sean heran. Ia tahu, cepat atau lambat Sean pasti akan merencanakan hal gila ini.

"Nggak!!" Kanaya berdiri ke hadapan Sean. Ia tatap lelaki kloningan Zean itu dengan wajah kesal. "Zean gak boleh pergi. Zean harus tetap di sini sama gue!"

Sean mendengus. "Lo siapanya Zean?" Ia menatap remeh pada Kanaya. "Lo siapanya Zean ha? Sampai berani ngelarang dia pergi dari sini. Lo punya hak apa?"

"Pokoknya gue gak mau Zean pergi!" Kanaya mulai murka. "Jangan bawa dia pergi jauh dari gue, An!"

"Lo suka liat dia menderita hah?!" bentak Sean.

"GAAKK!" Kanaya berteriak. Napasnya mulai memburu. "Tapi caranya gak harus dengan bawa dia pergi ke luar negri. Ada banyak cara, An! Ada banyak cara!!"

"Lo gak perlu ikut campur, Nay. Lebih baik lo ngaca. Lo gak jauh beda dari orangtua gue. Lo juga naruh luka buat Zean. Lo bikin dia nyaris kehilangan nyawa, Kanaya!"

"Gue tahu. Gue akui kecelakaan Zean emang salah gue!"

"Yaudah sebaiknya tutup mulut lo sekarang. Lo gak berhak ikut campur."

Kanaya mendengus. "Gimana gue ma--"

BRAK!

Kanaya dan Sean menoleh ke arah brankar. Mata keduanya membulat saat mendapati Zean sudah terjerembab di lantai.

"Zean!"

Sean segera membantu Zean yang tampak kesakitan. "Lo mau kemana?"

Zean berdecak. Ia menolak dibantu. Dan berupaya bangkit sendiri.

"Ze. Jangan berdiri."

Dengan tatapannya, Zean memperingatkan Kanaya untuk tidak menyentuhnya.

"Untuk apa kalian berdua repot-repot meributkan kehidupan aku?"

"Kenapa kalian mendebatkan hal-hal yang seharusnya jadi keputusanku?"

Kanaya membeku, begitu juga Sean.

"Aku juga berhak memilih jalan hidupku sendiri. Aku berhak hidup sesuai keputusanku. Bukan keputusan adik aku, atau pun kamu, Kanaya."

Kanaya tercekat. Ini pertama kalinya ia melihat Zean menggerakan tangannya dengan gerakan yang sangat cepat dan kasar, bahkan disertai ekspresi marah.

Ia hanya terbiasa dengan Zean yang selalu tersenyum saat menggerakan tangannya.

"Gue bukan ngambil hak lo. Tapi gue mencoba melindungi lo sebagai saudara," ujar Sean sendu.

Zean menggeleng. "Saat kamu terus-terusan datang untuk melindungi aku, semakin lama aku selalu berpikir kalau ucapan bunda dan papa memang benar. Aku ini hanya parasit. Aku malu karena terus berlindung padamu Sean! Aku sangat malu!"

Sean langsung menunduk. "Maafin gue."

"Kamu itu putra yang sempurna di mata bunda dan papa. Mereka sangat mencintai kamu. Seharusnya kamu bersyukur bukan memberontak."

Sean menggeleng. "Gue gak bisa bersyukur. Kecuali mereka menyayangi lo sama seperti gue."

Zean tersenyum miris. "Itu mustahil."

Sean mengangguk. "Maka dari itu, lo harus ikut gue ke luar negri."

Zean terdiam. Lalu beralih menatap Kanaya yang sudah berderai air mata. "Apapun yang terjadi, aku tetap disini."

"Karena Kanaya? Perempuan ini?" Sean menunjuk gadis di sebelahnya kesal.

"Karena ini keinginan aku. Bukan karena siapapun."

"Ck! Lo emang gak pernah dengerin permintaan gue." Sean mengacak rambutnya frutasi. Ia benar-benar kesal sekarang.

"Ze. Duduk lagi." Kanaya berjalan mendekat, dengan halus ia menuntut Zean untuk duduk di atas brankar kembali.

"Kapan sih lo dengerin maunya gue. Gue cuma gak mau lo dalam bahaya kalau ada di sekitar bunda dan papa." Sean kembali membujuk, berharap Zean luluh. Karena ia terus teringat ucapan Rinjani.

Karena bunda tidak peduli dia masih hidup atau mati.

Zean menghela napasnya. "Apa mereka berharap aku mati?"

Sean terdiam.

"Tidak kan? Bunda dan papa gak mungkin mengharapkan itu."

Sean menggeleng kecil. Napasnya benar-benar sesak sekarang. "Gue butuh udara segar." Setelah mengatakan itu, Sean berjalan menuju pintu lalu menghilang begitu saja.

Menyisakan Kanaya dan Zean yang saling terdiam dengan pikiran masing-masing.

"Ze."

Zean yang awalnya fokus menatap ke tirai sambil mengatur napasnya agar lebih stabil, menoleh begitu mendengar panggilan Kanaya.

"Apa kamu lelah?"

Tanpa ragu, Zean mengangguk.

"Kemari, Zean."

Kanaya duduk di samping Zean. Dan saat itu juga Zean menjatuhkan kepalanya di atas pundak Kanaya. Kemudian menutup kedua mata.

Sementara satu tangan Kanaya menepuk-nepuk punggung lelaki itu seperti menenangkan bayi.

"Kamu udah hebat, Ze. Sesekali kamu gak perlu tersenyum. Kamu boleh tunjukin apa yang kamu rasakan. Kamu boleh marah. Kamu boleh nangis, Zean."

Kanaya tersenyum kecut. Bodoh sekali. Ia berlagak membuat Zean kuat. Padahal dirinya adalah penyebab Zean berakhir di rumah sakit. Sean benar, dirinya juga telah menabur luka di hati Zean. Luka yang besar.

"Kamu berhak bahagia, Zean."

Zean mundur dari pelukan Kanaya.

"Aku tau. Dan kebahagiaan aku adalah melihat bunda, papa dan Sean sehat selalu."

Kanaya tertegun.

Tuhan, begitu ikhlasnya hati Zean.

Kanaya merasa malu. Dirinya bahkan tak bersyukur memiliki orangtua yang begitu menyayanginya. Bahkan sangat menyayanginya melebihi batas. Namun ia malah sering bertingkah nakal hingga merepotkan mereka.

"Zean," panggil Kanaya lagi.

Zean mengangkat satu alisnya.

"Kalau suatu hari nanti aku bikin orangtua kamu masuk penjara. Apa kamu bakal benci aku?"

Zean terdiam.

Kanaya dapat melihat perubahan ekspresi di wajah Zean. Ini memang pertanyaan sulit. Namun Kanaya ingin tahu jawabannya.

Tapi akhirnya Zean menjawab.

"Aku tau, Kanaya. Aku tau bagaimana rasanya kehilangan. Aku tau rasa sakitnya. Untuk apa aku harus membenci kamu."

Kanaya tertegun. Lalu akhirnya bergumam. "Maaf, Ze."

Zean hanya menggeleng. "Aku punya satu permintaan. Apa kamu bisa mengabulkannya?"

Kanaya mengangguk cepat. "Apa itu?"

"Tolong jangan muncul lagi dihadapan aku setelah ini."

Kanaya mengernyit. "Kenapa?"

Zean terdiam sejenak.

"Aku takut orangtua aku melakukan hal yang sama."

Ia menatap Kanaya dalam. Ia tahu Kanaya pasti mengerti maksudnya. "Aku takut kehilangan lagi."
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Silent Love (END)Where stories live. Discover now