048. Accept the fact

1.5K 100 14
                                    

Di tempat berbeda dengan suasana yang tak jauh berbeda. Seorang gadis duduk melamun di atas kasurnya sambil memeluk kedua kaki.

Selama seminggu, Kanaya mengunci diri.

Ia tidak mau makan, atau bertemu siapapun.

Seira sudah beberapa kali datang untuk menghibur Kanaya, namun usiran halus yang selalu ia dapat.

Kanaya butuh sendiri. Untuk menelan sepi. Belajar mengerti tentang datang dan pergi. Tentang bertemu dan berpisah. Tentang lahir dan maut yang hanya sejengkal kaki.

Ia sedang berusaha menerima fakta bahwa Zean sudah benar-benar pergi.

Tak ada lagi senyum indahnya, atau pun tawa riangnya.

Kanaya pikir cepat atau lambat sesak dihatinya akan sedikit mereda. Namun tidak, hari demi hari ia dapati hatinya semakin tersiksa. Melarut-larut dalam rindu yang tak berbalas.

Lalu yang sampai detik ini Kanaya sesali adalah fakta bahwa ia mengalami kecelakaan yang sengaja direncanakan oleh orangtua Zean.

Kanaya terus menyalahkan diri.

Andai saja ia mematuhi permintaan Zean untuk tidak menggali soal kematian kakaknya, mungkin hal ini tidak akan pernah terjadi.

Mungkin Radith dan Rinjani tidak akan berencana membunuhnya dihari itu. Dimana Zean berada dalam mobilnya.

Karena seharusnya, hari itu Kanaya adalah mangsa mereka. Kanaya pikir dirinyalah yang harusnya mati, bukan Zean.

Namun semesta berkata lain. Ketika nyawa Zean lah yang Tuhan panggil.

Tok! Tok!

Lamunan Kanaya buyar. Ia tatap pintu kamarnya yang barusaja di ketuk. Disusul suara seseorang.

"Kanaya. Ayah ingin bicara."

Kanaya mendengus. Lalu beralih membaringkan tubuhnya di kasur.

Diluar, Reyhan menghela napas. "Ini tentang kakakmu Raya."

Mendengar nama itu, Kanaya langsung bangkit cepat. Tanpa pikir lama akhirnya ia turun dari kasur lalu membukakan pintu untuk sang Ayah.

Reyhan tersenyum begitu pintu terbuka lebar. "Terimakasih."

Keduanya berjalan masuk ke dalam kamar. Lalu duduk bersisian di tepi kasur.

"Kamu masih kesal sama Ayah karena gak mengizinkan kamu ikut ke pemakaman Zean?" tebak Reyhan melihat wajah putrinya yang menekuk.

"Sedikit," jawab Kanaya ketus.

Reyhan menipiskan bibir sejenak. "Di hari pemakaman kak Raya, ingat apa yang terjadi sama kamu?"

Kanaya diam, lalu tak lama mengangguk.

"Ayah gak ingin kejadian itu terulang lagi. Ayah melarang kamu agar kamu baik-baik saja, Nak. Karena menyaksikan pemakaman butuh hati yang kuat."

Mendengar itu, Kanaya hanya tersenyum kecil. "Aku akan belajar menerima keadaan."

Bibir Reyhan ikut menyungging, lega. Ia usap-usap surai hitam putrinya yang sudah memanjang. "Boleh Ayah bertanya?"

Kanaya mengangguk.

"Kamu menyukai Zean?"

Kanaya langsung menatap mata Reyhan. Hanya menatap, tanpa memberi jawaban.

"Dua kali Ayah melihat kamu sehancur ini. Pertama setelah kehilangan kakakmu, lalu Zean." Reyhan menjeda. "Sekarang Ayah sadar, kalau Zean sama berharganya seperti kak Raya untuk kamu."

Silent Love (END)Where stories live. Discover now