06.

12.5K 1K 25
                                    

Aeni memilah-milih sayuran segar di supermarket bersama Belva.

Seperti biasa, Aeni akan kebagian mengurus cucunya jika Reon telah kembali bekerja. Tidak setiap hari memang, namun entah kenapa minggu-minggu ini Aeni sangat sering merengek seperti balita kepada Reon agar cucunya selalu di titipkan pada Aeni ketika Reon bekerja.

Tentu saja Reon dengan senang hati mengiyakan permintaan ibunya, toh itu meringankan beban Aminah yang pastinya super sibuk dengan pekerjaan rumah.

Selagi Belva tidak menolak, Reon akan mengijinkan. Dan pastinya si kecil kesayangannya akan lebih terpantau jika di asuh oleh ibunya yang pemalas.

"Dedek, sini sayang." Aeni memanggil Belva yang saat ini tengah sibuk mendongakkan kepalanya di depan kasir, entah apa yang anak itu lihat dan pastinya tingkah Belva tidak luput dari tatapan gemas dari penjaga kasir.

"Nenek, mau itu."

Aeni mendekat kearah Belva yang enggan beranjak dari depan kasir.

"Mau apa sayang?" Tanya Aeni lembut.

"Mau pelmen setobeli."

Netra Aeni mengikuti kemana arah telunjuk Belva mengacung. Sesaat setelah tahu apa yang di inginkan Belva, wajah nenek muda itu memerah menahan malu— entah malu karna apa yang pasti membuat penjaga kasir menahan tawa.

Aeni berjongkok di hadapan cucunya, memegang bahu Belva dengan lembut. Tidak lupa ia juga memberikan senyuman semanis mungkin pada cucunya— tidak peduli jika senyumannya akan di bilang seram oleh Belva.

"Itu bukan permen, baby."

"Tapi ada stobelinya!"

"Itu cuma gambar, isinya pahit. Dedek nggak bakal suka."

"Bohong! Dedek mau pelmen itu!"

Belva itu keras kepala, itu fakta yang tidak dapat di sembunyikan. keinginannya tidak terbantahkan.

Aeni ingin menggaruk lantai saja rasanya.

"Kakak, itu pelmen kan?" Tanya Belva kepada penjaga kasir, memastikan.

Penjaga kasir tertawa.

"Manis, itu bukan permen— nggak bisa di makan tahu." Kata si penjaga kasir lembut.

Belva memicing.
"Telus itu apa?"

Penjaga kasir meringis mendapat pertanyaan seperti itu dari bocah 4 tahun di hadapannya. Sedangkan Aeni memejamkan matanya sekilas. Kenapa barang laknat itu harus di simpan di tempat yang bisa di jangkau oleh anak anak sih pikir Aeni.

"Sayang, itu buat pelindung kita dari hujan dan dipakenya sama orang dewasa. Jadi Bebel nggak boleh beli itu. Mengerti?" Aeni berucap asal. Beruntungnya Belva menurut, walaupun Aeni yakin anak itu tidak mengerti dengan apa yang di ucapkan oleh sang nenek.

"Mengelti. uhm.. dedek mau itu aja."

Penjaga kasir tersenyum, mengambilkan coklat dairy milk yang di inginkan Belva.

"Bilang, apa?" Aeni mengingatkan.

"Telimakasih, kakak."

Si penjaga kasir di buat gemas sekali melihat bagaimana cara anak itu berbicara, terlihat berbelit namun mampu membuat dirinya harus menahan gemas setengah mampus.

"Pinter cucu nenek, sekarang ayo temenin nenek belanja lagi."

"Nenek, dedek mau beli wangi buat lambut." Pinta Belva sambil memeluk coklat dairy milk-nya dengan erat.

"Wangi buat rambut, emang dirumah udah habis?"

"Nggak mau pakai wangi lambut beli papa, mau sepelti wangi lambut om Fello."

Aeni tidak percaya, sudut bibir atasnya terangkat bersamaan dengan bola matanya merotasi.

“Ferro, udah tau cucu gue banyak tingkah malah di cekokin barang begituan. Masya Allah cobaan.” Aeni menghela nafasnya pasrah.

Ingatkan Aeni untuk mengomeli putra bungsunya, setelah sampai di rumah.

"Sayang, lain kali kalo om Ferro ngajarin dedek sesuatu. Dedek harus nolak ya, biar nggak sesat kaya dia."

"ah, papa juga kemalin bilang om Fello sesat. Itu nama balu om Fello? Keleeen."

Aeni malas menjawab. Wanita itu segera berlalu menuju tempat barang yang ia cari. Jika terus-terusan meladeni cucu-nya, bisa-bisa acara belanjanya tidak akan pernah kelar.

"Nenek, kata papa kalo ada yang tanya itu halus dijawab." Dari belakang Belva mengikuti Aeni sambil mengomel sesekali memekik karna melihat makanan yang ia inginkan.

"whatever, ma- boy."


.


Ferro itu anak SMK jurusan otomotif, berhasil memasuki sekolah favorite dengan kkn di atas rata-rata.

Ia remaja 16 tahun yang sangat lihai ketika sudah berada di bengkel, seperti sekarang ini. Si pemilik wajah perpaduan antara Septian dan Aeni itu terlihat tengah bergulat di bengkel pribadinya, bengkel yang ia gunakan untuk memodif motor KLX-nya agar semakin terlihat lebih tampan seperti pemiliknya, itu kata Ferro.

Tidak jarang juga, Ferro memperbaiki mobil ataupun motor milik papanya yang rusak. Seperti kakaknya, Ferro itu membanggakan. Walaupun berbeda bidang. Septian si kakek absurd namun rupawan itu selalu mendukung apa yang di inginkan oleh putra-putrinya.

Ferro menoleh kearah gerbang yang di bukakan oleh pak didi Satpam dirumahnya ketika sebuah honda civic memasuki halaman rumah mewah itu.

"Ferro, anak mama yang paling cakep. Bantuin mama bawa belanjaan kedalem." Teriakan Aeni melengking ketika mobil milik mamanya sudah terparkir rapi di pekarangan rumah.

"Ferro masih mandi oli loh, Ma." Sahutnya dengan malas. Fokusnya kembali pada motor butut experimennya yang akan ia ubah menjadi sebuah motor cantik, agar motor KLX kesayangannya mempunyai pasangan.

"Om Fello, kalo di suluh sama olangtua nggak boleh nolak!" Seorang provokator menyembulkan kepalanya di jendela mobil, sok peduli terhadap sang nenek.

"bisa banget, lo kunyuk nyeramahin gue."

"Dasal malin kunang, jangan di kasi jajan nek. Om Fello nggak belbakti."

"Wah minta di cemongin oli, si bocah."

"Udah deh, Fe. Jangan gangguin ponakanmu, mending bawa belanjaan mama di bagasi. Mama cape, Belva bikin mama naik tensi terus." Keluh Aeni sembari menutup pintu mobilnya dengan Belva yang sudah berada dalam gendongan Aeni dengan nyaman.

"wlee." Belva menjulurkan lidahnya kearah Ferro yang tengah mencuci tangannya di kran dekat bengkel pribadinya.

“Sabar, Fe. Dia masih bocil.”


TBC

BelvaWhere stories live. Discover now