07.

11.9K 953 208
                                    

Langkah kaki milik pemuda bernama Reon itu menggema dikoridor kantor yang tampak lenggang. Jam sudah menunjukan pukul 21.56 malam, lemburnya membuat Reon tidak dapat memantau kondisi putranya.

Perasaan cemas menyeruak ketika Ibunya mengabari Reon jika Belva terserang demam dan tidak henti-hentinya menangis, memanggil sang papanya.

Memang saat istirahat jam makan malam tadi perasaan Reon mendadak gelisah, bayangan putra kecilnya sudah memenuhi seluruh benak Reon.

Sampai di parkiran kantor. Reon memasuki mobilnya, Menjalankan bugatti chiron itu dengan kecepatan di atas rata rata. Jantungnya berdegup, bibirnya terus merapalna nama putranya. Berdoa agar kondisi Belva tidak sampai demam tinggi seperti 5 bulan yang lalu. Kondisi dimana Reon berada dalam titik terlemah melihat putranya harus di tangani oleh dokter didalam ruangan ICU.

Ponselnya berdering, tanda jika ada panggilan masuk. Reon menyambungkan panggilan itu dengan Earphone bluetooth yang sudah terpasang rapi di telinga kanannya.

"Ada apa, Fe? abang masih di jalan pulang." Ujarnya setelah panggilan itu tersambung.

"Bang, Belva kejang-kejang. Panasnya sampe 41°c, gue nggak tahu cara ngatasinya. Sekarang mama sama papa mau bawa Belva kerumah sakit, abang langsung ke rumah sakit aja nanti alamatnya gue kirimin."

Reon terhenyak, area matanya memanas. Ia mengigit bibir bawahnya dengan keras menahan air mata yang mendesak ingin turun. Belva selalu berhasil membuat Reon menumpahkan air matanya.

Setelah sambungannya terputus, Reon melajukan mobilnya kalap. Stirnya di genggam kuat-kuat, tidak peduli rambu lalu lintas menunjukan warna merah, memperingatnya untuk berhenti. Reon tetap melajukan mobilnya, berlawanan dengan sebuah truk bermuatan kosong yang melaju kencang.

Kecelakaan tidak terhindarkan, mobil yang Reon tumpangi berguling dua kali. Begitu juga dengan mobil truk yang sekarang sudah menabrak pohon yang terletak dekat trotoar jalan, sesaat setelah menabrak mobil Reon pada bagian badan mobilnya.

Orang-orang yang menyaksikan kecelakaan itu berteriak histeris, berlarian kearah korban yang masih berada dalam mobil dengan darah yang merembes mengotori wajahnya.

"Belva, maafin papa nak."

-

Aeni keluar dari ruang rawat anak beserta dengan dokter di sampingnya. Sedikit bernafas lega karna kondisi cucunya sudah stabil tidak semengkhawatirkan sebelumnya, Belva juga sudah ceria seperti biasanya hanya saja anak itu tidak pernah berhenti menanyakan keberadaan papanya.

"Ma!" Septian berlari kearah istrinya yang baru saja berbincang dengan dokter anak.

Dokter itu melenggang pergi bersamaan dengan datangnya Septian. Aeni memandang Septian bingung.

"Kenapa pa? jangan teriak-teriak ah." Kata Aeni mengingatkan.

"Reon, kecelakaan ma."

Aeni menggelengkan kepalanya kuat-kuat, menatap netra suaminya dengan lekat- berharap jika apa yang di ucapkan oleh Septian hanyalah sebuah lelucon.

"Nggak, papa bohong. Tadi Ferro masih telponan sama Reon pa!" Tanpa sadar nenek muda berusia 48 tahun itu menangis.

"Ma-"

BelvaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang