Dua Kalimat Suci

2.6K 240 11
                                    

فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ ۖ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا

Barangsiapa yang Allâh menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allâh kesesatannya, niscaya Allâh menjadikan dadanya sesak lagi sempit...”
(Al-An’âm/6:125)


_____________________________

Pekatnya malam berpadupadan dengan kilauan bintang-bintang serta pancaran sinar rembulan yang amat menenangkan. Kesunyian malam pun tercipta ketika hewan-hewan noktrunal mulai berinteraksi, mengeluarkan bunyi dan wujud.

Begitu puas matanya di manjakan oleh sang malam. Sudah beberapa hari dirinya merasakan kedamaian yang sesungguhnya, jauh dari kebisingan kota, dan terbebas dari berkas-berkas yang penuh angka. Hatinya pun perlahan melunak, tidak lah sekeras batu lagi, dan tangan kekarnya sudah merasakan apa yang menjadi kegiatan seorang ibu.

Banyak pelajaran yang Syamuel ambil ketika ia tinggal di sini. Namun, keputusan atas jati dirinya itu belum lah terlengkapi. Masih ada satu potongan parzel yang harus ia cari. Sementara ia tidak bisa di pondok ini dengan waktu yang lama, karena masih ada tanggung jawabnya yang ia tinggalkan.

Sepanjang waktu pria itu memanfaatkannya, semua kegiatan selalu ia ikut serta. Bahkan terkadang banyak pertanyaan-pertanyaan yang selalu terlontar oleh Syamuel. Pria itu mengesampingkan segala egonya demi terpenuhi tujuannya.

Ah, entah sampai kapan Syamuel akan terus bisa menatap indahnya langit malam Jogja. Semoga ini akan menjadi kisah menarik untuk hidupnya. Ya, hidup Syamuel tak lagi monoton semenjak seseorang dengan lancang hadir menyadarkannya untuk mencari serpihan jati diri yang belum lengkap.

"Sampean ndak mengantuk opo?"

Suara itu menggelitik telinga Syamuel, sehingga ia menoleh ke belakang. "Belum mengantuk, Za."

Kalian tidak perlu terkejut akan sikap Eza yang perlahan melunak. Entah karena keajaiban apa, Eza menjadi ramah terhadap Syamuel. Mungkin karena kebaikan yang Syamuel berikan selama ini.

Syamuel bersyukur, tidak ada yang membenci atau mempunyai dendam terhadapnya sebelum ia meninggalkan pondok ini. Semua bisa menerima kehadiran Syamuel walaupun ada perbadaan yang terbentang amat jelas.

Syamuel menoleh lagi ke arah Eza yang mulai tertidur kembali di kasur. Syamuel bangkit dari duduknya, lalu melenggang menuruni anak tangga. Terlihat sepi memang asrama pada saat malam hari, namun masih ada beberapa santri yang memang di khusus kan berjaga malam.

Entah Syamuel akan kemana, pikirannya tak membiarkannya untuk istirahat. Ia pun melewati beberapa santri dan menyapanya. Toh, jika kita menyapa dengan baik maka mereka pun akan balik menyapa dengan baik. Semua tergantung kita yang akan berbuat seperti apa.

Langkah kaki jenjangnya membawa Syamuel ke sebuah masjid yang tampak lenggang. Pria itu menatap lama masjid yang lumayan besar namun penuh aura pancaran religi. Perlahan Syamuel menghapus jarak, ia duduk di undakan tangga masjid.

Sebelum itu mata Syamuel menangkap sosok yang tak asing di dalam masjid, itulah sosok penenang Syamuel sejak pertama kali datang ke pondok ini. Dialah kiyai Sobri. Tampak pria paruh baya itu tengah berdzikir. Hati Syamuel kembali bergetar, ini kah yang dinamakan seorang hamba yang patuh akan perintah Tuhannya?

Nona Hujan & Tuan KopiWhere stories live. Discover now