Bersama Ibu

2.3K 229 14
                                    

وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْناً عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

“Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun . Bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” 
(Qs. Luqman : 14)

____________________________

Kafe Alista, menjadi tempat yang akan dikunjungi Syamuel dan Relita. Di hari libur ini, Syamuel ingin meluangkan waktu bersama sang ibunda. Sesibuk apapun ia, haruslah ada waktu untuk Relita, terlebih sekarang sang ibu sudah sembuh total bahkan bisa kembali ke rumah.

Ternyata takdir masih memberikan Syamuel kebahagian di saat hatinya tidak sedang baik-baik saja. Senyuman yang kini Relita berikan membuat Syamuel sadar, bahwa hidup tak akan berhenti sesuai yang dia mau akan tetapi hidup terus berjalan tanpa melihat keadaan setiap orang.

Usai menempuh jarak yang tidak terlalu jauh dari perusahaan Syamuel berdiri. Akhirnya mobil yang di kendarai berhenti dengan selamat di parkiran kafe. Segera Syamuel keluar dari mobil terdahulu, lalu membimbing Relita untuk memasuki kafe tersebut.

Mereka lalu menduduki salah satu meja, kemudian Syamuel memesan sebuah makanan dan minuman untuk dirinya maupun Relita.

"Sudah lama Ibu nggak ke sini. Aroma coklat khasnya masih tercium ternyata." Relita tersenyum seraya menatap sepenjuru kafe yang tidak terlalu banyak pengunjung itu.

"Syam sering ke sini, kalau Syam sedang banyak beban pikiran," sahut Syamuel.

Tiba-tiba saja raut wajah Relita menjadi muram, "maafkan Ibu ya. Kamu jadi harus mengorbankan masa mudamu untuk mengurus perusahaan dan mengurus Ibu."

Syamuel menggeleng, "nggak, Bu. Ini bukan salah Ibu. Tapi ini sudah takdir Syam. Lagi pula nanti Syam memang harus menanggung semua itu."

Perbincangan mereka terhambat dengan datangnya seorang pelayan. Makanan dan minuman yang di pesan sudah terhidang. Lantas mereka pun memulai kegiatan makan.

Di tengah asiknya menikmati makanan yang amat memanjakan lidah ini, tatapan Relita mengunci di salah satu meja yang di tempati dua remaja. "Aisyah," gumam Relita.

Kegiatan Syamuel pun terhenti ketika Relita menyebutkan nama gadis itu. Ia mengikuti tatapan Relita. Di sana tepat di kursi dekat jendela, tampak Aisyah tengah bercengkrama dengan seorang pria, ralat lebih tepatnya calon suaminya. Kahfi.

Syamuel tersenyum tipis seraya mengalihkan tatapannya kembali. Aisyah terlihat amat bahagia bersama  Kahfi, lalu tak ada alasan lagi untuknya bertahan bukan?

"Perasaan itu bukan abangnya Aisyah ya?" Tanya Relita yang merasa bingung. Wajar wanita paruh baya itu bingung, karena selama ini Aisyah adalah gadis yang amat menjaga jarak dengan seorang pria.

"Dia Kahfi, calon suaminya Aisyah." Jawab Syamuel seraya menyuap pancake.

"Oh." Relita menatap sekilas raut wajah putranya itu yang terlihat tengah menyembunyikan sebuah kelukaan yang amat menyayat.

•♡•♡•♡•

Rumah mewah dengan aksen Eropa itu kembali menemukan penghuninya. Suasana dingin yang tercipta selama beberapa tahun itu, perlahan berganti dengan kehangatan yang diciptakan Relita.

Setelah tadi menghabiskan waktu di luar, Relita dan Syamuel memilih pulang saja. Karena pula sebentar lagi senja menyapa sang langit.

Syamuel menghampiri sofa di ruang santai, lalu menyalakan televisi. Tatapannya memang ke arah layar monitor, akan tetapi pikirannya melayang entah kemana. Untuk pertama kalinya seseorang membuat pikiran Syamuel menjadi lambat dan bodoh. Ia pikir melupakan adalah hal gampang untuk di jalani, namun ternyata butuh beberapa tahap dan lamanya waktu.

Melihat Syamuel terdiam dengan tatapan kosong. Relita menghampiri sang putra, lalu duduk di sebelahnya. "Kenapa hem?" Dengan nada lembut wanita itu bertanya.

"Gak apa-apa, Bu." Syamuel mematikan televisi, lalu berdiri. "Ibu belum minum vitamin ya? Biar Syam ambilkan oke."

Di saat putranya beralasan seperti itu supaya bisa mengalihkan suasana. Segera Relita mencegah, "udah. Ibu sudah minum. Kamu duduk lagi."

Pria itu pun duduk kembali. "Jangan beralih seperti itu, Syam. Izinkan Ibu mendengarkan keluh kesahmu," ucap Relita.

Syamuel menatap lirih sang ibunda, lalu repleks membaringkan kepalanya di paha wanita yang telah melahirkannya itu. Kemudian Relita mengelus lembut rambut hitam sang putra. "Bantu Syam, Bu. Tuntun Syam menjadi seseorang yang bisa mengikhlaskan."

"Ibu memang pernah sulit untuk mengikhlaskan ayahmu. Namun, seiring berjalannya waktu Ibu sadar kalau semesta tak akan menghentikan masa meskipun Ibu terluka. Ikhlas itu hadir karena kamu. Diri kamu sendirilah yang akan menciptaka hal itu, jika kamu bisa berdamaikan kenyataan. Dan ada hal yang perlu kamu ingat, kalau mengikhlaskan bukan berarti kamu bisa melupakan. Karena masa lalu tidak selayaknya untuk di lupakan, akam tetapi di simpan baik-baik untuk di jadikan pendangan."

"Adapun selain itu ada faktor yang membuat kamu sulit untuk ikhlas. Yaitu terlalu berharap selain kepada Allah. Ada sebuah hadits Imam Syafi'i yang pernah disampaikan oleh salah satu ustadz di pengajian, dia menjelaskan bahwa kalau tidak salah isinya seperti ini; (Ketika hatimu terlalu berharap pada seseorang, maka Allah timpakan ke atas kamu pedihnya pengharapan supaya mengetahui bahwa Allah sangat mencemburui orang yang berharap pada selain-Nya, Allah menghalangi dari perkara tersebut semata agar ia kembali berharap kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala)."

"Astagfirullah. Tanpa sadar Syamuel berlebih dalam berharap," ujar Syamuel. "Lalu Syam harus apa Bu sekarang?"

"Perbanyaklah mendekati diri kepada Allah. Minta segala petunjuk langkah dari-Nya, dan bersabarlah menunggu waktu di mana kamu bisa mengikhlaskannya. Ini barulah pertanyaan yang takdir ajukan dan di setiap pertanyan pastilah ada jawabaan yang telah di siapkan."

Syamuel tersenyum kembali, kini yang di berikannya sebuah senyum ketenangan bukan kemuraman. Untuk pertama Syamuel mencurahkan isi hati pada sang ibu, setelah sekian lama dalam kebisuan dan pergulatan batin.

Relita sendiri pun sama bahagianya bisa menasehati sang putra dengan segala pengalamannya. Relita hanya berharap untuk saat, kehadirannya mampu membuat Syamuel bangkit dari patah hati yang mendalam.

Seorang pria berhak merasakan luka, seorang pria berhak bersedih dan seorang pria berhak untuk bahagia. Setegar dan secuek apapun dia, akan tetapi ada sebuah kelembutan di dalam hatinya. Semesta akan bertindak adil pada setiap hati jika hati itu mampu bersabar akan menanti.

•♡•♡•♡•

Heyyy😃

Maap telat hehe, maklum lah yakan dari pada gak update sama sekali.

Dan maap lagi bab ini pendek. Soalne, ini bab khusus ibu dan anak saja.

Kira-kira bab selanjutnya macam mana? Apa mereka benar-benar akan pisah? Akan kah si kopi dan si hujan tak akan bersama? Hem, waiting next part okey😘

Bagaimana harimu? Bahagiakah? Kalau begitu sudah bersyukur? Ayo, kita sama-sama ucapkan Alhamdulillah untuk nikmat yang telah Allah beri hari ini.

Nona Hujan & Tuan KopiWhere stories live. Discover now