7. Salep untuk Hati yang Patah

783 180 9
                                    


Aku berhasil tidak meremukkan kepala sendiri, tapi selalu berhasil hampir menghancurkan tulang-tulang lengan dan kaki selama sebulan bergabung dengan klub dojo itu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Aku berhasil tidak meremukkan kepala sendiri, tapi selalu berhasil hampir menghancurkan tulang-tulang lengan dan kaki selama sebulan bergabung dengan klub dojo itu. Ryou benar, aku membutuhkannya, dan mungkin harus terus melakukannya. Dalam keadaan tidak bisa menyalahkan diri, keadaan, atau orang lain, nyeri fisik adalah satu-satunya yang dapat membuatku berpikir waras. Selain itu, pengajarku, Sensei Ito yang berumur 63 tahun, sejak pertama bertemu tampaknya langsung menyukaiku, dan aku pun menyukainya. Di tengah pemanasan bersama, Sensei Ito akan mengambil tempat di sampingku, tidak bosan membenarkan posisi tanganku memegang shinai, menyenggol kakiku jika salah jinjit atau menapak, dan akhirnya menawarkan kelas privat dengannya setiap Selasa malam.


Katanya, dia mengingatkanku kepada mendiang cucunya yang meninggal karena virus tiga tahun lalu.


"Dia memiliki banyak kekecewaan, sama sepertimu," katanya di suatu sore saat kami duduk di beranda dojo, menikmati teh hangat yang diseduhnya sendiri.


Aku tidak membenarkan atau menyanggah pernyataan itu, tapi setelahnya kami sering berbincang setelah sesi latihan. Seperti dia yang menceritakan banyak hal, aku juga menumpahkan hampir segalanya.


"Begitulah..." kataku suatu hari. "Di rumah itu cuma Ryou yang memperlakukanku seperti manusia. Untuk Shigeru aku hampir seperti budak, bagi Isao aku jelmaan musuh, sementara Kazue terlalu sibuk bermain gim di sela-sela Latihan dan bekerja. Hampir tiga bulan sudah lewat, mereka belum pernah mengajakku bergabung minum teh."


Sensei tertawa, yang membuatnya seolah sudah berumur 500 tahun, begitu tua dan bijaksana. Tak ada yang mampu membuatnya gusar. Sensei hanya sesekali tampak kesepian. "Kau bisa minum teh denganku," jawabnya, menyesap tehnya dengan hikmat. Keringat mengembun di pelipisnya, tapi kelelahan tidak membuat posturnya menjadi lesu. Sensei selalu duduk tegap, seolah perang bisa datang kapan saja.


"Betul juga..." Aku tersenyum. Sejak kematian orangtuaku, kami pindah ke rumah Kakek-Nenek. Pada sore hari biasanya kami duduk di teras rumah, menikmati serabi buatan Nenek sambil mendengarkan Kakek menceritakan masa mudanya. Waktu itu adalah masa-masa yang baik, mencukupi batin kami yang setengah kosong oleh absennya orangtua. Duduk di sore hari bersama Sensei membuatku teringat akan memori itu.


"Kendo, Rika, tidak dilatih untuk menyalurkan amarah," lanjut Sensei. "Melainkan untuk mengendalikannya. Jadi saat kau melakukan serangan usahakan tidak membayangkan Isao atau Shigeru yang ada di hadapanmu. Sebaliknya, bayangkan amarahmu sendiri. Kau tidak boleh menebasnya sebelum kau coba menerima siapa dia."


Aku mengerutkan dahi. "Itu tidak semudah kedengarannya."


ЯD LIGHTWhere stories live. Discover now