21. Kenangan-Kenangan dalam Secangkir Teh

653 163 6
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Pertanyaan "Sudah makan, Nak?" tidak pernah terasa terlalu berharga sampai ibumu tiada. Bagaimanapun keadaannya, tak peduli dia sedang sakit, atau sedang kelelahan sehabis bekerja, atau sedang sibuk melakukan hal lain, hal pertama yang dikonfirmasi ibuku adalah apakah aku sudah makan atau belum. Baginya, yang penting aku tidak kelaparan dan urusan dunia yang lain bisa menunggu.



"Kau sudah makan?" tanya Nyonya Fukuda pada Isao saat kami tiba di rumahnya. Saat itu pukul delapan pagi, sesungguhnya kami sudah sempat membeli secangkir kopi dan beberapa roti dalam perjalanan, tapi Isao tetap mengatakan bahwa dia lapar. Tangan Nyonya Fukuda yang putih seperti salju dengan sedikit keriputnya langsung sibuk bergerak di dapur, menyiapkan sup hangat untuk sarapan kami di tengah musim dingin menyengat di Seoul.



Aku tidak bisa berhenti memandangi tangan itu, membayangkan apakah tangan ibuku juga akan keriput seperti itu, makanan apa yang akan dia siapkan jika aku membawa pulang pacarku, dan kaus kaki seperti apa yang akan dia rajutkan untuk anakku.



Anakku. Aku tidak pernah membayangkan punya anak karena merasa belum selesai menjadi anak. Tapi melihat bagaimana Nyonya Fukuda merawat anaknya dengan penuh kasih membuatku membayangkan apakah aku dapat menjadi ibu yang baik suatu hari nanti?



"Apakah kau cukup hangat? Perlu kunaikkan suhu ruangannya?" tanya Nyonya Fukuda. Isao sedang mandi, meninggalkan kami duduk di ruang tamu apartemen di kawasan Paju yang dinding kacanya memberikan pemandangan kota Seoul yang padat. Sinar matahari bulan November mengintip malu-malu dari balik awan mendung. Menurut prakiraan cuaca besok salju akan menghujani kota penuh cinta ini.



"Tidak, aku baik-baik saja. Terima kasih."



"Syukurlah. Musim dingin di sini lebih tidak bersahabat daripada di Jepang, jadi tolong beritahu saja jika kau perlu sesuatu, Nak." Nyonya Fukuda menyesap tehnya dan tersenyum hangat. Dalam balutan kardigan krem dan rok hijau pastel sebetis, wanita itu menumpukan kaki langsingnya pada yang kaki yang satunya dengan elegan. "Apa kau sudah pernah dengar kalimat kau gadis pertama yang diajak anakku laki-lakiku pulang?" tanyanya.


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
ЯD LIGHTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang