18. Cangkir Hitam Pekat Berisikan Trauma

612 167 9
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



"Jujur saja, aku hampir merasa kau mencintaiku atau semacamnya," ejek Isao seraya bergeser sedikit, mencaci posisi nyaman di tempat tidurnya. Untuk dirinya yang jarang berdiam untuk waktu lama, mesti berbaring dengan keadaan tangan dan leher dibebat begitu, sungguh merupakan siksaan. "Padahal kukira kau akan menertawakanku dan mengatakan karma memang tidak pernah tidur," ejeknya.



Di ruangan rawat besar yang dilengkapi ruang tamu, dapur, dan kamar mandi dalam itu, tersisa hanya aku dan Ryou menjaga Isao. Tokyo dihujani sinar matahari senja yang hangat, menembus masuk lewat tirai kamar rawat berwarna abu-abu lembut. Sementara itu Hayato, Shigeru, dan Kazue memutuskan mereka bisa kembali ke studio Taka untuk melanjutkan pekerjaan. Atau mungkin itu hanya alasan Hayato untuk kabur dari suasana canggung setelah tak tahu harus berbuat apa menanggapi sikap dramatisku tadi.



Memang tidak sampai meraung-raung atau tiba-tiba pingsan, tapi suara tangisanku cukup keras mengisi sudut ruangan putih berukuran tujuh kali lima itu. Dalam momen itu aku seperti tersesat, bertanya-tanya siapa yang kutangisi. Orangtuaku, Isao, atau diriku sendiri? Sikap kekanak-kanakanku, luka di tangan Isao, atau takdir? Dalam momen tidak terlalu lama itu semua menjadi kabur, kecuali kenyataan bahwa hatiku terasa ngilu seolah aku yang telah mengalami kecelakaan itu sendiri.



"Jika orang mendengar cara kau menangis tadi, mereka akan salah mengira Isao sudah mati," tambah Ryou. Satu kakinya bertumpu di satunya. Dia duduk di sofa di sudut ruangan dengan pandangan tertuju kepadaku. Di matanya tidak terlihat penuduhan, hanya pengertian.



"Maafkan aku." Aku menutup mata sejenak, lalu mengambil apel, piring kecil, juga pisau dari nakas. Berkonsentrasi mengupas buah itu dalam gerakan mundur yang tidak terlalu kukuasai, aku mencoba mendorong perasaan sedih yang masih melingkupiku. "Kecelakaan ini terjadi karena aku."



Isao yang sedang minum air dengan tangan kirinya tersedak. "Maksudmu?"



"Jika aku mengantarmu hari ini, kecelakaan itu mungkin tidak terjadi," jawabku tanpa berani menatapnya.



Dengusan keras sarat perasaan lega terlepas dari Isao. "Sialan kau. Kukira kau akan bilang kau memotong kabel remku atau semacamnya. Jangan berpikir yang aneh-aneh! Aku kecelakaan karena si pengemudi sedan itu mengantuk. Untung saja dia tidak mati. Jika aku tidak refleks banting setir, kami mungkin tinggal nama. Brengsek."

ЯD LIGHTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang