15. Kedatangan Abimanyu

12 0 0
                                    

Sesuai janjinya, Satria akan menemui Abi dan menuntut tanggung jawab untuk Namira. Dia sendiri pasti akan kewalahan jika diminta bertanggung jawab, bahkan masalahnya sendiri saja belum selesai.

"Mas di mana?"

"Aku di bandara. Baru banget mendarat penerbangan terakhir."

Bak gayung bersambut, Satria otomatis mengangkat satu sudut bibirnya.

"Aku jemput ya, Mas."

"Tumben banget mau jemput. Biasanya juga sok sibuk."

***
Di sinilah Satria sekarang. Dia membawakan tas kakaknya yang bertubuh sama tinggi dengannya. Kali itu Mas Abi mengenakan jaket kulit hitam dan kacamata hitam. Entah apa tujuannya.

"Harus banget ya, Mas pakai item-item semua gitu?"

"Sudah enggak usah banyak ngomong. Ayo ke hotel yang sudah kupesan," titahnya.

"Lho? Nggak balik ke rumah?"

"Enggak."

Jawaban yang singkat dan padat membuat Satria menuruti apa kata abangnya. Dia bergegas membuka kap mobil belakang dan memasukkan koper yang tidak terlalu besar.

Saat sudah duduk bersebelahan. Satria mulai mengajak abangnya berbicara.

"Bang, aku mau ngomong boleh?"

"Mau ngomong apa? Aku capek."

Abangnya memang terlihat capek. Namun, Satria tak mudah putus asa. Dia kembali mengatakan apa yang mau dia utarakan.

"Aku mau ngomong soal Namira," jawab Satria.

"Ada apa dengan Namira? Urusanku sudah selesai dengannya."

"Bagaimana bisa selesai, Bang? Dia menuntut untuk bertanggung jawab. Bagaimana bisa aku melakukan apa yang sudah Abang perbuat?"

Satria menjalankan mobil sambil mencengkeram setir kuat-kuat. Buku-buku tangannya sampai terlihat menonjol.

"Ya udah, nikahin aja dia."

"Abang. Kenapa Abang ...?"

Satria tak melanjutkan pertanyaannya karena dia tahu sikap abangnya. Jika sudah bilang tidak maka jawabannya tetap tidak. Susah untuk dipengaruhi. Itu juga menjadi salah satu alasan kenapa Satria yang mengurus perusahaan bukan abangnya yang anak sulung.

'Nanti aku pikirkan cara lain deh. Sepertinya lebih baik aku menyelesaikan masalahku dengan Bila dulu deh. Mumpung sudah dapat lampu hijau darinya,' batin Satria sambil mengangkat sudut bibirnya.

***

Bila yang memasuki rumah tak bisa tenang. Dia masih terpikirkan apa yang diucapkan oleh Satria tadi.

Hanya ucapan terima kasih, tapi membuatnya tak bisa berkata-kata. Dia merasa ada sesuatu yang beterbangan di perutnya.

"Ah, Satria. Kamu membuatku tak bisa tenang malam ini. Tapi, kenapa harus ada Namira di antara kita," lirih Namira.

"Namira, kamu nggak makan Nak?"

"Enggak, Bunda. Aku udah makan tadi di luar."

"Bunda boleh masuk? Bunda mau ngobrol sebentar," pinta Bundanya yang masih bertahan di depan pintu kamar Namira.

"Ehm, boleh, Bunda."

Bunda Bila lalu duduk di sebelahnya, di ranjang yang berukuran besar di kamarnya.

"Bunda boleh tanya sesuatu?"

Terlihat Bundanya pelan-pelan berbicara karena takut menyinggung perasaan anak gadisnya itu. Dia teringat saat-saat di mana mengurung diri dan tidak mau menceritakan apa masalah yang dialaminya.

"Tadi itu, Bila di anter sama Satria?" tanya Bunda sambil mengelus pelan punggung Bila.

Bila tak menjawab pertanyaan Bundanya, dia hanya mengangguk pelan.

"Kamu udah baikan sama dia? Bukannya Bila waktu itu bilang udah bubar sama Satria?"

"Ehm, itu Bun, aku ...."

Belum juga Bila menyelesaikan perkataannya, ponselnya berdering. Bunda melirik sekilas dan tahu siapa yang menghubungi anak gadisnya itu.

"Selesaikan yang belum kamu selesaikan dengan baik. Jangan sampai kamu mengorbankan perasaan kamu sendiri karena keputusan yang kamu ambil saat sedang emosi," tutur Bunda lembut.

Bunda kemudian pamit untuk keluar dari kamar Bila. Sementara Bila, dia bingung mengangkat panggilan Satria atau tidak.

Luka Hati Bila #IWZPamer2023Όπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα