20. Tidak Sengaja Bertemu

5 0 0
                                    

Memilih tempat di ujung untuk menetralkan debaran jantungnya adalah pilihan Bila saat ini. Hari pertama bekerja di tempat kedua dilaluinya dengan baik. Namun, kejadian yang baru saja menimpanya membuatnya jadi sedikit kacau.

"Kamu tidak apa-apa, Mbak?"

Dewa bertanya karena saat ditinggal ke konter pemesanan Bila baik-baik saja. Pemandangan berbeda dilihat saat dia kembali. Bila sedang tertunduk menutupi wajahnya.

"Oh, aku nggak apa-apa. Hanya sedikit capek," ucap Bila.

Berbeda dengan apa yang dia rasakan, berkebalikan tentunya. Dia mengalihkan perhatian dengan menyesap kopi pesanannya.

"Mas Dewa nggak mau pesan makanan?"

"Oh, enggak, Mbak. Mbak laper? Kalau laper aku bantu pesankan," tawar Dewa.

Bila akhirnya mengangguk dan mengulurkan dua lembar uang seratus ribuan.

"Mas sekalian pesan deh, pasti laper lah pulang kerja ini," kekeh Bila.

"Oke deh, Mbak kalau dipaksa."

Dewa berlalu pergi dan saat itulah Bila menarik napas panjang. Berusaha kembali mencari ketenangan seperti apa yang biasa dia lakukan saat panik.

'Jika saja aku masih di kantor Satria, pasti aku lebih milih naik mobil dan nggak kejadian seperti tadi," batin Bila.

"Ah, mikir apa aku ini?" gumam Bila. Dia berusaha mengenyahkan pikiran yang baru saja dia bayangkan.

"Astaga! Aku lupa kabarin Bunda. Pasti Bunda bingung karena aku belum pulang," lirih Bila kemudian.

Di saat yang sama, Dewa yang sedang memesan makanan juga mengirimkan pesan ke seseorang yang hendak mendatangi mereka di sana.

"Ditunggu sebentar ya, Mbak. Kata pelayannya kurang lebih lima belas menit," ucap Dewa setelah kembali.

Mereka kemudian berbincang sejenak sambil menanti makanan datang. Ternyata, kata Dewa memang daerah tadi beberapa kali rawan jambret. Meski di pusat kota, sepertinya para kawanan itu lebih pintar memilih waktu dan situasi yang dihadapi.

"Untung saja ada kamu, ya. Sekali lagi terima kasih atas bantuannya," ucap Bila.

Dewa hanya mengangguk, satu sudut bibirnya tersenyum mendengar apa yang diucap Bila.

Setelah menikmati makanannya, Bila izin berpamitan pada Dewa. Dewa sebenarnya menawarkan untuk menemani, tapi karena saat berbincang dia tahu kalau rute mereka berbeda, maka dia menolaknya.

"Tapi, Mbak. Enggak aman deh kalau pulang sendiri. Gimana kalau Mbak naik taksi online saja?"

Dewa menyarankan sambil menyodorkan ponselnya agar Bila memesan lewat aplikasi miliknya.

"Aku pesan sendiri saja deh. Nanti di depan."

Bila akhirnya benar-benar berpamitan. Namun, saat keluar dia disapa oleh orang yang sedang dia hindari sebelumnya.

"Bila, kenapa kamu di sini? Kamu kerja di mana?"

Bila hanya menunduk dan hendak menghindar. Namun, pergelangan tangannya dipegang lembut oleh lelaki di depannya itu.

"Mas anter aja ya, udah malam. Bahaya buat kamu pulang jam segini," tawar Satria.

Bila ingin menolak, tapi sudut hatinya berkata lain. Sayangnya, kepalanya mengangguk seperti tanpa kendali.

"Yaudah yuk, mobil Mas ada di sana," terang Satria.

Sadar kalau melakukan kesalahan. Bila buru-buru ingin meralat apa yang dia lakukan tadi.

"Ehm, aku pulang sendiri saja deh, Mas, takut merepotkan," lirih Bila.

"Sejak kapan Mas bilang kamu merepotkan buat, Mas. Lagipula, kita sudah beberapa pekan tidak berjumpa, ada banyak hal yang ingin Mas bicarakan sama kamu," ucap Satria.

"Ehm, tapi, Mas."

"Nggak ada tapi, nggak ada penolakan. Kalau kamu nolak, Mas gendong ke mobil lho!"

Andai saja rambut Bila tidak digerai, mungkin rona pipinya yang memerah bisa terlihat oleh Satria. Bohong kalau bilang dia tak nyaman berada di dekat Satria, hanya saja jurang yang terlalu dalam memisahkan status mereka berdua.

Luka Hati Bila #IWZPamer2023Where stories live. Discover now