Chapter 8 - Lost One

7.6K 952 115
                                    

Soundtrack : Epik High - Lost One

"I'm a lost one. Everything I love makes me cry. I'm a lost one. A
ll that I live for make me die."

***

Hani tahu, sangat tahu bahwa perbuatannya hanya akan sisakan penyesalan dan kehinaan yang tiada bermuara. Dia sangat tahu bahwa Oh Sehun tak akan memberikan setengah tetes saja belas kasihnya. Meski seribu kali coba menguatkan diri, nyatanya pedih itu tetap saja menguliti dirinya. Mengupas bagian demi bagian dan tinggalkan dagingnya dikerubungi lalat.

Ia tahu bahwa menangis tak akan mengembalikan keadaan. Ia sadar dengan sesadarnya. Oh Sehun membersihkan tubuhnya dari debu untuk kemudian pria itu kotori dengan kehinaan yang tak akan bisa terhapuskan, sebanyak apa pun ia menggosok tubuhnya sampai nyaris melepuh. Hasil dari kehinaan itu telah bersarang di dalam dirinya, entah ia akan tumbuh jadi sesuatu atau tidak.

Oh Sehun meninggalkannya sendiri setelah puas mempermainkan tubuhnya seperti boneka. Ini sedikit menguntungkan sebenarnya. Karena ia telah lelah bersandiwara, lelah berpura-pura menikmati gairah Oh Sehun yang menyelam dalam venanya. Ia ingin menghabiskan malam dengan seluruh penyesalan yang selimuti tubuhnya dengan jaring berduri, sembari memikirkan akan disebut sebagai apa ia di masa depan.

Pelacur?

Wanita simpanan?

Penjaja tubuh?

Semuanya tiada beda, semuanya sama-sama dipandang hina tak peduli apa alasan yang ada di belakangnya.

Ia telah kehilangan segalanya sekarang, semuanya. Tak ada lagi yang tersisa kecuali luka menganga dan bernanah. Semua yang ia cintai membuatnya menangis. Tidak orang tuanya, Chanyeol, mau pun Jongin. Bahkan ia membenci dirinya lebih banyak dari sebelumnya. Seperti ia diciptakan untuk hidup dalam genangan lara. Sejauh apa Tuhan meninggalkannya? Apa dia lebih hina dari iblis hingga hidupnya harus merasakan kehinaan ini?

Manusia memang hidup untuk mati. Menciptakan kebaikan agar mereka masuk surga atau berbuat keburukan sepanjang hidup dan menjalani keabadian di neraka. Namun hidupnya sungguh seperti ia memang diciptakan untuk mati dalam arti konotasi. Secara denotasi dia hidup, bernapas, beraktivitas, berinteraksi dengan lingkungan. Namun secara konotasi dia adalah mayat hidup, jiwanya sudah lama terkubur dalam tanah. Raganya hanya diisi kehampaan, oleh sebab itu kah nestapa mudah sekali merasukinya?

Ia telah tersesat sejak lama, setiap jalan yang ia ambil sama-sama memiliki semak berduri dan pecahan kaca. Sejak dulu ia hanya mengharap sebuah perhatian. Keinginannya tak pernah muluk, mimpinya tak pernah setinggi dirga. Ia hanya ingin orang-orang terkasihnya berada di dekatnya, menjauhkan dia dari sepi. Tapi semua itu menjadi hanya sebatas angan kala Tuhan justru mengambil mereka semua dari hidupnya. Meninggalkan ia yang semakin mengecil oleh beban yang harus ditanggungnya. Jika dulu ia berjalan di atas karpet merah yang terbuat dari beludru maka sekarang ia berjalan di atas karpet merah yang berasal dari air mata dan darahnya sendiri.

***

Ketika kenari dan burung gereja mulai bernyanyi, maka saat itulah telah datang pagi. Pagi yang biasanya identik dengan aroma pekat kopi dan opini publik terkini. Pagi untuk melupakan apa yang terjadi kemarin, atau pagi untuk mengingat kembali dosa masa lampau. Hani bangun pagi ini dengan dering telepon yang memanggilnya berkali-kali. Matanya yang masih sembab membuat ia sukar untuk membukanya. Tapi dering itu seakan tak ingin berhenti. Jadi ia meraih tas kecil yang tergeletak di lantai, sedikit meringis perih saat bagian selatannya mengingat peristiwa semalam.

Saint or Sinner [COMPLETE - OSH]✅Where stories live. Discover now