Epilog

2.8K 343 159
                                    

8 years later

Sehun meletakkan buket mawar merah di atas gundukan tanah yang tertumbuhi rumput itu. Setelah beberapa saat keterdiamannya, Sehun memejamkan mata. Memanjat doa, menguntai harapan-harapan terbaik yang bisa ia panjatkan kepasa Sang Maha Kuasa.

Di sampingnya anak laki-laki berumur delapan tahun menariki ujung jas hitam yang Sehun kenakan hari ini seraya memanggil Sehun berkali-kali dengan sebutan yang telah begitu familiar di telinga Sehun selama delapan tahun terakhir.

"Papa, sepertinya hari ini akan turun hujan lagi."

Sehun membuka matanya lantas kepalanya menengadah menatap langit yang diaraki mendung yang berkelompok siap untuk menurunkan cerita langit yang tak tersampaikan pada bumi. Angin kencang berembus, membawa suhu dingin dan disampingnya anak laki-lakinya mendekap tubuh dengan tangannya sendiri yang kecil. Sejak delapan tahun yang lalu, hujan selalu turun tepat di hari ini.

"Phelan seharusnya tidak perlu ikut Papa kemari," kata Sehun ketika dilihatnya Phelan bergerak mendekat di antara kaki-kakinya karena tak kuat menahan hawa dingin yang dibawa angin. Phelan menggeleng, kini anak laki-laki itu memeluk kaki Sehun dengan kedua lengannya yang mau tak mau membuat tawa berdentang di kesunyian komplek pemakaman itu.

"Kau lihat, bukan? Bahkan tingkah mereka pun sama," ungkap Sehun. Sepasang karamelnya menerawang kepada ukiran nama di atas nisan yang selalu memenuhi seluruh ruang di kepala Sehun selama beberapa tahun terakhir tanpa membiarkan hal lain membagi eksistensinya.

"Tentu saja, aku adalah anak Mama!" Ujar Phelan begitu lantang dan berani.

"Terakhir kau bilang kau adalah anak Papa saat Papa membelikanmu miniatur pesawat terbang."

Phelan tertawa, memperlihatkan gigi susunya yang masih utuh dengan gigi taring yang sama persis dengan milik Sehun itu mengintip malu-malu di sudut bibir.

"Terakhir kali, Papa hanya mengakui Svana sebagai anak Papa. Phelan masih mengingatnya,Pa. Jadi selamanya Phelan memang hanyalah anak Mama."

"Papa! Phelan!"

Sehun dan Phelan menoleh bersamaan kala satu suara anak perempuan memanggil mereka. Keduanya lalu saling bertatapan dengan penuh tanya tentang kehadiran sosok kecil itu kemari.

"Svana, sudah berapa kali aku bilang padamu, panggil aku kakak... dan hei, jangan berlari, Svana! Nanti kau bisa jatuh."

Terlambat.

Phelan, kau terlalu banyak mengomel dan sekarang satu-satunya adik perempuan yang kau miliki sudah terjerembab di tanah. Gaun hitam yang dipakai Svana kotor oleh tanah dan rumput yang sudah mengering. Sementara gadis kecil itu menderai tangisnya. 

Phelan segera berlari menyusul Svana. Kulit putih pucat itu terkotori oleh tanah. Phelan dengan teliti membersihkan setiap kotoran yang hinggap di kulit putih pucat itu dengan gerakan menepuk yang lembut.

"Dimana yang sakit, Svana? Katakan kepada kakak dan kakak akan menyembuhkannya untukmu."

Svana menunjuk kepada lutut dan dagunya. Phelan melihat pada lutut Svana yang sedikit terluka, meniupnya lantas memberinya satu kecupan. Pun ia lakukan hal yang sama pada dagu Svana.

"Sebentar lagi sakitnya akan hilang. Jadi Svana berhenti menangis dan lain kali jangan berlari lagi jika tidak ingin terjatuh. Mengerti?"

Gadis kecil itu mengangguk, kini binar di sepasang pekat kopinya tak lagi berkaca-kaca. Sehun tersenyum memperhatikan sepasang kakak beradik itu saling berinteraksi. Phelan menjaga Svana dengan baik. Pria kecil itu menyayangi gadis kecilnya dengan segenap jiwa.

Saint or Sinner [COMPLETE - OSH]✅Where stories live. Discover now