23. Malaikat Kematian Pun, Punya Pengecualian

4K 466 123
                                    

Aku meletakkan jari-jariku pada surai Nabastala yang terasa lembut

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Aku meletakkan jari-jariku pada surai Nabastala yang terasa lembut. Sesekali aku mencengkeramnya, mencari pelampiasan atas gerakan Tala yang mengecup leherku. Tala selalu begini jika aku baru selesai mandi, kebiasaannya datang padaku atau tiba-tiba memelukku seolah bisa kehilangan diriku.

"Hhhh," aku berdesis.

Aku bisa mendengar deru nafas Tala. Dia menatapku yang bersuara aneh lalu tertawa kecil.

"Cute," komentarnya sebelum mencium pipi lalu telingaku yang langsung membuat aku tertawa kegelian. "Good morning, goddess," sapanya.

"Good morning, Mr. Ekadanta," balasku dengan suara serak. Oke aku grogi. Berapa kali pun beradegan dewasa dengan Tala selalu membuat nyaliku ciut sekecil semut.

Tala kembali meraih tengkukku, dia mencium bibir ini lagi. Aku mengikuti gerakannya. Kecupan yang ringan, tidak agresif. Segar sekali kayak makan es krim mint chocolate, dingin-dingin manis.

"Mas Tala pasti ketularan aku soalnya suka cium-cium sembarangan," kataku saat dia mengambil spasi. Aku bersandar di dinding dapur. Tadinya mau masak tapi serangan Tala yang tiba-tiba membuat aku pasrah saja digiring merapat ke dinding.

"Iya, habis kamu wangi bayi." Tala tersenyum, jarinya mengusap gincuku yang aku yakin sedikit berantakan karena dia. "Bayi besarnya Mas Tala hehehe," gumamnya lalu melepaskan kungkungannya.

Kami kembali kepada kegiatan masing-masing. Aku menata omelet pada piring-piring cantik hadiah Bunda, sementara Tala duduk di kursi makan sembari membaca koran. Tala tertarik dengan kolom bisnis, satu lagi perusahaan yang gulung tikar akibat bocornya bahan berbahaya yang ternyata digunakan.

"Mas Tala ini kan dokter tapi suka banget melihat kolom bisnis," komentarku kemudian ikut duduk di sana mulai menyantap sarapan.

"Sebelum menjadi dokter, aku diajarkan untuk pintar berbisnis." Tala menatapku sebentar seperti menimbang untuk melanjutkan ucapannya atau tidak. "Keluarga Ekadanta mempunyai berbagai macam bisnis. Mulai dari farmasi, makanan, minyak, dan pariwisata. Kami memiliki tugas untuk mengelola itu," lanjutnya.

"Yang aku heran. Kenapa Mas Tala jadi dokter? Bukannya sepupu Mas Tala diminta untuk mewarisi dan pergi ke kantor. Mereka bahkan menjadi antagonis pada perusahaan-perusahaan veteran, mengakuisisi dan membuat bangkrut mereka."

"Ya, memang aku diminta berperan menjadi dokter. Bisa menjadi penyelamat atau sebaliknya." Tangan Tala menyentuh wajahku, menghapus sisa saus omelet yang berada di ujung bibir ini. "they needed invisible weapons and I'm one of them," tukasnya sembari tersenyum.

"Hahahaha, Mas Tala a weapon? You are like angel. You are too kind to be weapon," aku membalas lantas memberikan tawa tak percaya.

Tala bahkan tidak bisa melihatku sakit atau tergores sedikit saja. Tala menjadi orang jahat dan memanfaatkan profesinya sebagai dokter untuk menyakiti orang lain adalah hal yang mustahil.

Oh My Husband!Where stories live. Discover now