1: hari normal krama

806 67 27
                                    

✎ ⋆  ˚  •  ⋆

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

⋆  ˚  •  ⋆

Krama Baatara. Pendeknya: Krama. Ada yang memanggilnya Kram [ini oke], Ma [hadeh, emang gue emak lu?], Krrrr [gue doain lu jadi ayam di kehidupan selanjutnya ye, doa lelaki itu setiap ada yang memanggilnya begitu]. Masih 17 tahun. Menjalani semester pertama kelas 12 SMA dengan biasa-biasa saja—cenderung kelewat santai, malah, apabila dibandingkan dengan teman-temannya.

"Ya gue sih santai aja lah, masih semester satu ini. Belom mau tipes sih gue." Kira-kira begitu jawabannya apabila ditanya.

Ketika teman-temannya mulai memenuhi tempat-tempat bimbel usai sekolah, Krama masih bisa ditemukan bermain futsal dengan adik kelas di lapangan. Ketika satu kelasnya kompak mengadu hidung dengan berlembar-lembar soal latihan, Krama tak mau kalah; memilih candy crush untuk menyalurkan jiwa kompetitifnya. Dan di antara itu semua, ada yang tidak terima dengan ketenangan yang Krama miliki.

"Yee si kunyuk. Lo nggak ada apa setitik semangat buat menyongsong masa depan?"

Nah, kan. Siapa lagi kalau bukan Yure. Yumna Rezalin.

Gadis berambut bob abadi itu sudah Krama kenal sejak mereka masih mencoba mengeja kata pertama di dunia. Ibu mereka adalah sepasang sahabat yang masih lancar berkomunikasi hingga sekarang, jadilah sejoli remaja itu sering bersemuka [bukan sering lagi sih, udah ke tahap eneg gue, sumpah!]. Dan Krama terheran mengapa di tahun yang entah keberapa ini, Yure memilih untuk menjadi teman sebangkunya. Kalau tidak sekelas lagi dengan Yure, sudah pasti Krama bisa berganti status sekarang. Menurut Krama, Yure sudah seperti jimat pengusir perempuan-perempuan di sekitarnya [gue yakin nyokap gue sama nyokap dia bersekongkol!].

"Eh, asem guenya dianggurin!"

"Ssst! Ganggu gue aja lo."

Yure mencondongkan badannya ke arah Krama, lalu jahil menyentuh layar ponsel lelaki itu. Seketika Krama menyumpah.

"YUREEE!!!! Anying lah!!!!" Mana peduli Krama dengan tatapan-tatapan terusik dari berbagai arah. Candy crush-nya game over di satu pergerakan terakhir gara-gara Yure!

Si pelaku hanya cekikikan melihat raut kesal Krama. "Makan tuh permen. Suruh siapa nganggurin gue? Bantuin ngerjain soal ini, dong."

"Ogah. Udah bikin gue badmood, bisa ya lo nyuruh-nyuruh sekarang!?"

Yure masih tertawa. "Buru ah!"

"Ogah. Nggak ada gunanya ntar kita malah mupeng berdua. Mending lo minta yang lain, deh, siapa kek. Si Rana tuh," sahut Krama sewot masih dengan muka tertekuk.

Rana, atau Kirana, adalah teman sekelas mereka yang duduk di banjar sebelah kiri Krama, dua meja lebih depan. Rana yang paling cemerlang di kelas, makanya nama itu yang pertama kali muncul di otak Krama. Sudah bukan rahasia lagi kalau Rana berhasil bertahan dalam posisi sepuluh besar paralel sejak kelas sepuluh. Setahun sekelas dengan Rana, Krama melabelinya "putri keraton". Rambut panjangnya selalu rapi dijepit ke belakang, penampilannya mulus tanpa kerut, mejanya tidak pernah berantakan, sikapnya penuh kecermatan.

Mendengar namanya disebut-sebut, Rana cuma menoleh sekilas ke belakang. Krama yang melihatnya buru-buru menyatukan kedua telapaknya dan memamerkan cengiran. "Punten," seloroh Krama.

Satu tepukan mendarat di belakang leher lelaki itu.

"Anying kenapa lo mukul gue!!" Krama melotot ke arah Yure.

"Nggak usah deh lo ganggu-ganggu orang lain."

"Lah, lo pikir barusan lo nggak lagi ganggu gue? Emosi nih gue lama-lama," seru Krama, mulai berkacak pinggang.

"Hadeh, ada baiknya lo berdua pisah meja deh mulai besok." Samara yang duduk persis di depan mereka memutar badan. "Ngalahin Tom & Jerry, asli."

Krama bersedekap. "Gue sih setuju."

"Nggak, nggak. Makin enak-enakan aja lo tidur waktu pelajaran."

"Emang ya, Yur, lo tuh emak jadi-jadiannya si Krama," kata Samara yang langsung mendapatkan anggukan persetujuan kelewat semangat dari Krama.

"Emang. Nyokap lo tuh nitip ke gue biar lo lebih disiplin lagi di kelas 12 ini, tau nggak lo?"

"Ahelah, ini tuh baru bulan pertama. Santai aja, dong!"

"Aduh, lanjut aja deh kalian ributnya. Gue nggak ikutan lagi." Samara memutar badan, kembali memunggungi mereka.

"Eh, eh, lo mau kemana?" Melihat Krama tiba-tiba beranjak, Yure mencegat lengan lelaki itu.

"Kantin. Rambut gue bisa rontok kalo lama-lama di sini sama lo."

"EH BENTAR LAGI MASUK, HEH KUNYUK!!!"

Krama berlalu tanpa memedulikan teriakan Yure di balik punggungnya. Di langkah keempat, Krama sempat menengok ke belakang dan menjulurkan lidah ke arah Yure. Memang dasar lelaki dengan banyak tingkah, Krama tidak sadar bahwa hal itu membuatnya menyenggol sebuah tempat pensil. Benda itu terjatuh dan isinya tercecer di lantai.

"Eh, sori, sori." [Ahelah, si bego.]

Krama lekas berlutut, membereskan ulahnya. Decitan kursi terdengar. Sebuah tangan masuk ke dalam bingkai pandang Krama. Jam tangan yang bergelung di pergelangan tangan itu membuat Krama membeku sejenak. Gerakan Krama melambat seraya ia mengangkat wajah. Helai-helai rambut yang jatuh bagai tirai melewati pundak itu melebarkan mata Krama sedikit. Mampus gue. [Please, percaya, emang sedramatis itu scene ini. Suwer.]

"Eh, sori, Ran."

"It's ok."

Mata mereka bertemu dan Krama mengerjap ketika gadis itu mengulurkan telapak tangan yang kosong. Gadis itu melirik ke tangan kanan Krama.

"Oh. Oh iya, lupa, hehehe. Nih." Krama mengulurkan beberapa pulpen yang berhasil ia pungut sebelumnya ke si empunya. "Sori yak, sekali lagi."

"Nggak usah dimaafin, Ran." Suara Yure tahu-tahu berjarak dekat.

Wajah Krama kembali terlipat. Yure segera menarik lelaki itu menjauhi meja Rana yang sudah kembali rapi dan hening seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnya. [Tuh, tau 'kan maksud gue kenapa tu cewek putri keraton!?]

"Rasain kan lo! Karma tuh, gara-gara lo belagak sama gue." Omelan Yure mengiringi langkah mereka. "Lagian, bisa nggak sih lo dikit-dikit nggak petakilan? Gue sebagai...."

Et cetera, et cetera.

Krama diam saja. Ia menyeka keringat di sekitar pelipis, lalu mengibas-ngibaskan seragam putih yang longgar merengkuh tubuh rampingnya. Angin sejuk yang menyambutnya di luar kelas menyadarkan betapa ia merasa gerah sedari tadi. Dengan Yure menempel di sebelah, Krama harap gadis itu tidak menyadari sisa debar yang masih berdenyut di dadanya [menurut gue si Yure nggak bakal denger sih, ngomelnya lebih toa, soalnya].

୨୧ ⋆ 。˚ ✧ ⋆

shia's speaking:

hai. ehehehe. siapa yang kenal krama ini krama yang mana ayo angkat kaki 👣


kalo ada yang bertanya-tanya kenapa ada monolog di dalam brackets [ ... ] itu tuh krama yang ngomong. kayak breaking the 4th wall tipis-tipis gitu, inspired by enola holmes! biar ceritanya bisa lebih hidup dan fun! just like krama.

anyway, hope you like it!

yogyakarta, 26 maret 2023.

where our hearts meetWhere stories live. Discover now