9: masih rahasia

90 15 14
                                    

⋆ ˚ • ⋆

Motor Krama berhenti di depan sebuah bengkel. Orang-orang di dalamnya sibuk mondar-mandir membereskan dan membersihkan peralatan. Tanpa menunggu lama, sesosok pria mendekat ke arahnya.

"Papiiih! Apa kabar, Pih? Rame nggak hari ini?"

Sapaan Krama tersebut dibalas decakan. "Kamu yakin udah minta doa ke temenmu yang sakit waktu itu?"

"Lah, ya udahlah.. Sepi ya hari ini?"

"Nggak juga, sih. Yaa lumayan lah. Tapi Papa kan pengennya kalo bisa sampe bingung mau tutup jam berapa saking ramenya."

Pria itu, Papa Krama, naik ke jok belakang setelah memasang helm.

"Banyak syarat juga, ye... Kesian Bang Iyo kalo harus lembur ngerjain kerjaan bengkel, kan hidup dia nggak sempurna kalo sehari aja nggak ngulek sambel."

Krama sempat berseru pamit ke karyawan yang ada di dalam bengkel, melambai sekilas sebelum mengegas motornya.

Letak bengkel itu tidak jauh dari rumah. Mungkin sekitar lima ratus meter. Setiap sore, kalau Krama tidak ada agenda tambahan, biasanya ia menjemput Papa dan pulang bersama. Di hari lain, ada karyawan bengkel yang akan mengantar Papa ke rumah, seringnya Bang Rio—atau Bang Iyo, akrabnya. Bang Rio adalah karyawan terlama Papa yang bertahan hingga sekarang. Alasan ini juga yang membuat Papanya mengizinkan Bang Rio menyewa bengkel untuk membuka lalapan kaki lima sedari sore hingga malam demi pendapatan tambahan.

Sampai di rumah, Krama buru-buru turun dari motor dan berlari ke arah Papanya—membantu beliau menaiki anak tangga serambi.

Lagi-lagi, Papa mendecak. "Masih seger bugar lho Papa ini. Masih muda!" protes Papa sebelum mengenyakkan diri di kursi.

Krama terkekeh, duduk di kursi yang kosong. "Mau jadi anak berbakti ke orangtua susah bener..."

Krama menatap sekilas Papa yang memijat-mijat pergelangan kaki kirinya. Papa Krama memang tidak memiliki sepasang kaki yang sempurna—sebelah kirinya tidak semantap yang kanan, sudah hampir menyentuh sepuluh tahun lamanya. Langkahnya pincang dan hati-hati. Penyebab Krama kerap tiba-tiba sudah menempel di sebelah pria itu, entah ketika sedang berjalan atau naik turun tangga. Meskipun lebih sering didasari jahil dan suka mendengar omelan khas seperti tadi, masih ada getir yang meremas hati Krama setiap saat. Luka yang mengendap jauh di palung benaknya.

"Gimana, Bang, kamu udah ada rencana mau lanjut ke mana?"

Meski tidak mengekspektasi pertanyaan itu, Krama tidak terlalu terkejut. "Ke Bulan seru kali ya, Pa?"

"Hee‐esh! Nggak usah jauh-jauh, lah. Susah nanti ketemunya. Nanti Papa yang ribet dengerin curhatan si Mama."

Krama tergelak. "Lah, kan ada si Dara. Bagi dua bisa kali," sahut Krama.

Inilah mengapa Krama selalu kalem menghadapi apapun, terutama soal tuntutan-tuntutan yang biasanya anak seusianya jumpai. Kedua orangtuanya membiasakan Krama melihat dunia dengan bingkai yang santai dan penuh banyolan. Dibesarkan dengan, "Nilai nggak lebih penting dari hati dan karakter," oleh orangtuanya, Krama memang tumbuh menjadi siswa yang pas-pasan. Tidak terlalu di bawah, pun di atas. Nilai-nilainya bukan yang mepet KKM, masih bisa dibanggakan sedikit, meski ia lebih kepalang senang ketika mencetak gol di lapangan.

where our hearts meetWhere stories live. Discover now