8: hari senin krama

86 18 19
                                    

✎ ⋆ ˚ • ⋆

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

⋆ ˚ • ⋆

Decit sepatu berkali-kali terdengar di koridor. Laki-laki itu berusaha memanuver tubuhnya di tengah-tengah pelarian supaya tidak bertubrukan dengan siswa-siswi yang menghalangi jalan.

"Hei, berhenti kamu!" Di belakang, seorang lelaki paruh baya tampak kewalahan. Pun akhirnya memilih untuk mengerem langkah. Mengambil napas. "Tsk tsk, anak zaman sekarang nggak ada kasihannya sama orang tua!" ia menggerutu di bawah kumis tebalnya.

Sementara 'anak zaman sekarang' yang dimaksud sudah hilang dari pandangan. Siswa itu masuk ke dalam perpustakaan yang hanya diisi oleh segelintir orang. Meluncur ke salah satu lorong di antara rak buku, bersembunyi. Tatapannya masih awas memerhatikan sekitar. Takut orang yang mengejar-ngejarnya sedari tadi tiba-tiba muncul di depan hidung.

Begitu situasi aman, badannya perlahan menggelosor ke lantai. Dadanya masih kembang-kempis, tapi setidaknya ia merasa lega.

"Asli, ada gunanya juga gue dulu rajin ikut lomba sprint. Anying ... napas gue," keluh lelaki itu, satu tangannya memukul-mukul dadanya pelan.

Ia tidak menyangka salah memakai sepatu hari Senin ini akan berujung mandi keringat dan habis napas begini. Padahal sewaktu ia berangkat tadi, tidak ada tuh penjaga yang merazia di gerbang sekolah. Memang dasarnya apes, ia tak sengaja berpapasan dengan guru penjaskes paling horor di perjalanannya menuju kantin. Sial, gue nggak jadi makan ayam geprek kan!

Mari berharap guru pria berkumis itu tidak berpatrol di koridor-koridor, terutama kelas sepuluh, karena ia pasti bakal bolos kelas hingga bel pulang terdengar.

Selagi mengatur napas, alisnya tiba-tiba mengerut begitu mendengar sebuah suara. Seperti goresan pensil di atas kertas. Berulang-ulang. Ia menoleh ke kanan.

Oh.

Terpisahkan oleh satu rak, seorang gadis duduk bersandar, membelakangi lelaki itu. Rambutnya panjang diikat setengah dengan jepit tersemat di belakang. Telinganya disumpal earbuds putih. Strip satu terjahit di lengan seragam kirinya. Oh, seangkatan gue.

Menilik dari celah di antara barisan buku, ia mengamati bagaimana tangan gadis itu lihai menorehkan garis demi garis di kertas, membentuk sebuah gambar yang belum bisa ia kenali. Yang membuatnya makin takjub adalah kenyataan gadis itu menggunakan tangan kiri. Seumur-umur, baru kali ini deh kayaknya gue lihat orang kidal langsung.

Si lelaki akhirnya menyandarkan kepalanya pada rak. Pandangan tidak lepas dari gadis itu. Ada rasa tenang yang mengapung mengelilingi begitu indera pendengarannya memperjelas suara goresan-goresan pensil di antara heningnya ruangan. Sesekali gumaman nada menyertai, meski tipis.

Napas lelaki itu teratur, dadanya terasa ringan.

Ternyata, perpustakaan tidak hanya mengandung hal-hal bosan seperti yang ia duga, sebab ia menemukan sesuatu yang menariknya kembali mengunjungi ruangan itu di esok hari, kemudian esok harinya lagi.

where our hearts meetWhere stories live. Discover now