10: saling berbenturan

103 17 16
                                    

✎ ⋆ ˚ • ⋆

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

⋆ ˚ • ⋆

Ngeri-ngeri sedep, sih.

"Lo yakin, Ran?" Luput terhitung Krama melontarkan pertanyaan tersebut, bahkan sampai mereka memijak tanah lapangan kompleks yang sepi.

Krama beberapa langkah di belakang Rana, masih tertambat ragu yang menyuruhnya berhenti dan berbalik. Mending pulang sekarang, njir. Lo mau nyelakain anak orang lagi? Secara sukarela? Gila kali. Tapi, apa dayanya kalau Rana sudah bertitah dan segala alasan yang bisa Krama pikirkan ditepis sedemikian rupa?

"Lagi panas banget tau, Ran."

"Salah banget lo bilang gitu ke gue, mantan anggota ekskul basket. Panas nggak ada apa-apanya, Krama."

"Ntar lo keringetan."

"Justru itu yang gue cari."

"Aduh, gue sakit perut. Kayaknya gue harus pulang deh. Mules bener asli."

"Serius? Ya udah gue main sendiri aja."

Makin gila kalau Krama membiarkan gadis itu sendirian. Bagaimana kalau terjadi apa-apa dan tidak ada orang di sekitar?

Dan sebagaimana seorang Kirana Mahaira, bermain dengan satu tangan sama sekali bukan hambatan. Krama awalnya berpikir ia tidak perlu membuang energi terlalu banyak—toh Rana juga tidak dalam kondisi yang prima. Dribble sedikit, melangkah santai, mencetak skor. Gampang. Tapi, melihat sorot mata Rana yang terbakar kompetitif, laki-laki itu tergugah mengerahkan energi lebih—meski tidak seratus persen.

Rana berputar, berkilah, bertolak sambil men-dribble bola. Cekatan, tapi tak melepas keanggunannya. Melihat Rana yang bersungguh-sungguh membuat Krama tersenyum kecil berkali-kali. This is quite fun. Sengaja, Krama mengizinkan gadis itu lepas dari hadangannya dan mencetak skor. Karena kemudian ada seutas senyum puas di wajah Rana yang mulai memerah itu, yang laki-laki itu nanti-nanti.

Di menit napas mereka mulai menipis, keduanya meneduh di bayangan papan ring basket.

"Panas kan? Lengket tuh pasti. Gue bilang juga apa," Krama mengomel melihat Rana mengipas-ngipasi diri dan mengibas rambut panjangnya yang tergerai.

Kekeh Rana terselip di sela terengah. "Sampe gue bilang nyesel, kayaknya lo nggak bakal berhenti ngomel ya?"

Krama menutup kembali mulutnya yang sudah terbuka.

Semilir angin sore yang tak seberapa sesekali menerpa kulit. Awan-awan putih di langit bergerak perlahan.

Merogoh saku untuk mengecek jam di ponsel, Krama menemukan karet gelang. Sontak pandangannya tertuju pada Rana yang masih memegangi rambutnya ke atas dengan satu tangan.

"Nih."

Alis Rana terangkat melihat benda di juluran tangan Krama.

"Buat rambut lo tuh." Dagu Krama mengedik. "Lagian kenapa lo nggak bawa iket rambut sih? Udah tau rambut lo panjang. Mau basketan lagi."

where our hearts meetWhere stories live. Discover now