12: kemudian bercerita

87 14 2
                                    

✎ ⋆ ˚ • ⋆

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

⋆ ˚ • ⋆

Di kursi yang sama seperti hari-hari lalu, dua remaja itu duduk berseberangan. Ramainya dengung langkah kaki dan percakapan murid yang teredam dinding perpustakaan seakan mengunci keduanya di dunia mereka sendiri; yang masih tanpa kata dan suara..

Semenjak Krama memutuskan untuk masuk ke perpustakaan—karena, ya kali gue main ngibrit gitu aja sementara Rana ada di dalem!?—dan duduk di kursinya, Rana belum menoleh ke arahnya sama sekali. Gadis itu bertahan menatap ke luar jendela dan Krama mencari-cari apa kiranya di luar sana yang menarik perhatian gadis itu. Anak-anak yang bertanding sepak bola? Gerombolan anak cheers membawa pompom yang berjalan menuju aula? Atau—

Krama berhenti menengok-nengok saat ekor matanya menangkap gerakan.

Rana mengangkat tangan ke atas meja. Mengulurkan secarik kertas origami biru ke arah Krama. Bingung, laki-laki itu ragu meraihnya.

"Ajarin gue," adalah kalimat yang Rana pilih untuk memecah hening di antara mereka. Akhirnya, mereka bersemuka. Membuat Krama juga bisa sepenuhnya menangkap pancaran ketenangan pada wajah itu, walaupun rona hangat sedikit pudar dari biasanya. "Ajarin gue bikin burung," imbuh gadis itu, menjawab kernyit dahi Krama.

"Oh..."

Sesi tutor origami pun dimulai. Sempat Krama mengamati sinar antusias dari kedua netra cokelat di depannya, kemudian merambat ke kedua tangan yang sama-sama bergerak pelan, dengan anggun dan ... sehat. Rana mengikuti arahan Krama dengan cekatan dan mudah. Senyum gadis itu melekuk tipis, yang semakin lebar begitu kertas persegi di tangannya perlahan mendekati bentuk burung yang dikehendaki.

"Yes! Gini, kan?" Tangan Rana menyorong maju, memamerkan hasil karyanya.

Krama tersenyum penuh. Mengangguk. Bangga.

Kalo ngajarin bikin origami burung bisa buat lo seseneng itu, udah dari kemarin harusnya gue ajak lo ke sini.

Memperhatikan Rana yang mengagumi karya tangannya, Krama berusaha mendefinisikan apa yang ia rasakan sekarang.

Lo apa kabar, Ran?

"Gue minta maaf."

Kalimat itu mengundang tatapan Rana. Burung kertas di tangannya sejenak terabaikan. Alis rapi gadis itu meliuk.

Ibu jari Krama mengelus sayap origami burungnya pelan. "Gue minta maaf kalo apa yang gue bilang hari itu ... bikin lo marah. Gue cuma nggak mau aja jadi alasan rusaknya hubungan ibu-anak. Gue ... outsider yang baru-baru ini bisa sering interaksi sama lo, dibanding nyokap lo yang tentu udah lebih lama kenal lo ... seenggaknya, gue harus sadar tugas gue buat tau diri."

"Lo nggak salah apa-apa," sahut Rana. "Waktu itu ... gue nggak bermaksud buat marah ke elo, sorry malah lo yang kena. I guess ... gue marah ke diri gue sendiri, mungkin juga ke Mama ... tapi bukan ke lo. Lagi pula, ini bukan soal pilihan apakah gue sebaiknya pilih Mama atau lo ... ini lebih dari itu." Rana menghela napas sejenak, sebelum menatap Krama di manik. "Gue mau lo stop nyalahin diri lo sendiri."

where our hearts meetWhere stories live. Discover now