4: kesempatan krama

116 29 0
                                    

⋆ ˚ • ⋆

"Gue denger-denger lo bikin celaka anak orang, ya?"

Krama yang sedang menyeruput kuah bakso, tersedak sampai terbatuk-batuk. Meraih gelas es tehnya cepat, ia melirik Gibran sewot. "Lo kalo ngomong ada aba-abanya dulu, kek!?"

"Ngapain lagi dia emang?" Kali ini Abra ikut tertarik.

"Sembarangan! Lo ngomong gitu seolah-olah gue hobi bikin orang celaka."

"Itu, si Rana. Saingan lo di sepuluh besar tuh." Gibran menjawab Abra. Lalu beralih ke Krama. "Unch, sengaja ya lo bikin tuh cewek sakit biar Abra punya kesempatan naik satu ranking?"

"Si anjir." Krama hampir menusukkan garpunya pada Gibran. Untung masih ada bakso di mangkuknya.

"Canda, Sayang."

"Nghhghak loochhoo thaawook!" Krama ngotot menanggapi meski mulutnya penuh bakso.

"Terus, terus, gimana tuh si Rana?" Abra kembali meluruskan topik.

"Ya gitu," ujar Krama masih agak manyun. "Masih belom masuk anaknya. Tangan kanan dia sempet terkilir, gue lupa nanyain detailnya, tapi sembuhnya emang agak 4-6 mingguan ya, sob. Doain deh, ya, guys."

"Tangan kanan? Terus dia sekolahnya gimana?"

Dua pasang mata itu menatap Krama penasaran. Jujur, itu yang Krama pertanyakan semalam suntuk. Tapi pada akhirnya, ia hanya mengangkat bahu.

"Lah, terus lo nggak ada rencana apa gitu?"

"Jadi kacung dia kalo kata gue sih. Mana nih tanggung jawabnya."

Krama mendecak halus. "Udah ketiban pohon, ketiban tiang listrik pula. Kasian nggak sih tuh cewek, udah gue bikin celaka terus ditambah kalo gue deket-deket? Nggak yakin membantu sih guenya."

"Yaaa lo bantu apa kek, masa lo nyerah duluan. Hidup itu perlu perjuangan, saudaraku."

"Bangke lo, Bran."

"Ya udah lo jadi tangan kanan dia aja kalo di sekolah," ujar Abra. Menarik satu alis Krama lebih tinggi. "Ya di kelas biasanya dia ngapain? Tidur doang kayak lo, atau nyatet materi?"

[Emang di tongkrongan ini, Abra doang yang bisa gue percaya, saudara-saudara.]

*

*

Mungkin sudah ada lima kali Yure mengamati Krama dengan dahi terlipat sejak pelajaran Kimia berlangsung. Kesambet apaan nih bocah? batinnya heran melihat Krama sibuk mencatat dan memperhatikan penjelasan Pak Sulis di depan. Lihat, lihat, bahkan bibirnya mengerucut sedikit begitu, tanda bahwa lelaki itu sedang fokus dan serius.

Terkenal menjadi guru Kimia yang sensitif, Yure cuma bisa menendang tulang kering Krama di bawah meja untuk menghindari perhatian Pak Sulis.

Berhasil. Krama melempar raut tanya pada gadis itu.

where our hearts meetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang