5: 180 derajat

139 24 7
                                    

✎ ⋆ ˚ • ⋆

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

⋆ ˚ • ⋆

Belum satu jam berlalu, tapi Krama Baatara yang tadi datang berapi-api kini sudah padam terlelap.

Selesai menata scan catatan Marsha di iPad, Rana tidak menyangka akan menemukan kepala Krama yang tergeletak di atas meja berbantalkan lengan, menindih halaman PR yang dikerjakan. Pundak bergerak konstan. Lo pelor banget sih, Kram? batin Rana tak kuasa menahan geli.

Rana bertopang dagu, mengamati Krama sembari berpikir. Setelah satu tahun sekelas dan jarang berinteraksi, kini tahu-tahu laki-laki itu berkunjung ke rumahnya, tertidur pula. Rana sebatas mengenal Krama sebagai teman sekelas yang duduk di belakang, yang kalau sedang tidak tidur, ya bermain game di ponselnya. Krama tampak paling atletis saat pelajaran olahraga. Lelaki itu jarang mendekam di kelas. Ditambah, entah bagaimana, kelas mereka seolah terbagi menjadi dua kubu; baris depan yang rajin dan pendiam, baris belakang yang santai dan ramai. Setiap kubu seperti punya dunianya masing-masing.

Tentu, Rana tidak pernah membayangkan hari semacam hari ini akan datang.

"Hah? Krama mau nyamperin lo lagi?" Itu reaksi Marsha kemarin. "Ya oke, doi bertanggung jawab. Tapi kok lo mau-mau aja, Ran?"

Entah.

Mungkinkah karena melihat kegigihan dan keseriusan Krama? Atau mungkin Rana butuh teman selain Marsha dan kebetulan Krama ternyata orang yang menyenangkan?

Selagi Krama tidur, Rana mengambil pensil, berniat menyelesaikan satu nomor soal. Tapi sayang tangan kirinya terlalu kikuk menuliskan huruf dan angka. Gadis itu pun menyerah.

Menggigit bibir, satu ide tebersit. Pada akhirnya, Rana menggeser jemarinya meninggalkan coret-coretan Kimia itu lalu pindah ke bagian kertas yang kosong. Matanya hati-hati melirik ke samping kanan, lalu goresan demi goresan pensil saling menumpuk dan menyambung di atas kertas. Menggurat dua lengkung mata, ujung hidung yang agak bengkok ke bawah, seutas bibir tipis yang agak terbuka.

Tangan kiri Rana sekarang tidak sekaku ketika bertemu dengan angka dan huruf seperti beberapa detik lalu. Gerakannya kini lihai tanpa ragu.

Sketsa itu hampir selesai. Rana menghapus beberapa garis untuk merapikan, lalu meniup kotoran sisa penghapus. Saat itu juga terdengar batuk yang membuat Rana terlonjak.

Rana sempat kelabakan melihat Krama menegakkan punggungnya seraya masih terbatuk.

"Lo nggak papa, Kram? Mau gue ambilin minum?"

Krama mengibas-ngibaskan tangannya. Batuknya perlahan reda. "Nggak papa kok—"

Lalu seperti semesta belum puas membuat Rana gelagapan, Rana terlambat beberapa jemang dari Krama yang lebih dulu mendaratkan pandang ke kertas yang terletak di meja. Menyadari itu, Rana segera menindih kertas itu dengan lengannya yang bebas. Berdeham.

Krama meliukkan alisnya. Satu alasan yang cukup untuk Rana tersenyum kikuk.

"Gu—gue ambilin minum dulu," ucap Rana seraya beranjak, membawa kertas itu bersamanya.

where our hearts meetWhere stories live. Discover now