15: puding dan batagor

52 12 3
                                    

✎ ⋆ ˚ • ⋆

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

⋆ ˚ • ⋆

"Justru ... ini kenapa gue suka lo, dan di saat yang sama, I'm frustrated for you too, Krama."

STOP. STOP, PLIS. BISA NGGAK BERHENTI NGE-REPLAY TERUS DI KEPALA GUE!?

Sudah keberapa kali ya? Di sepakan bolanya yang jadi meleset, di toilet, di langkah panjangnya menuju kantin, di antara jeda-jeda pikiran Krama yang tengah kosong. Kenapa terkadang kita lepas kontrol atas apa yang kita pikirkan? Tiba-tiba saja teringat sesuatu, dibuat salah tingkah karenanya, padahal kenyataan sudah ada di dalam genggaman—seakan kepalamu sengaja bermain-main denganmu.

Bisa nggak sih nggak usah aneh-aneh, anjir, sadar napa! geram batin Krama.

"Suka gue ...?" Krama ingat ia hanya bisa melongo bodoh saat itu. Berharap telinganya yang salah dengar. Seingatnya ia juga sudah lama tidak membersihkan kotoran di saluran pendengarannya.

"Iya, suka." Tapi Rana yang menekankan kata itu dengan raut penuh yakinnya seakan ia tidak salah ucap sangat tidak membantu sama sekali.

Krama jadi hanya memaksakan kekeh yang kikuk. "Ya kali lo suka gue," kulumnya.

"Beneran. Gue suka gimana lo mengakui kesalahan lo dan berusaha membenahinya. Menurut gue, orangtua lo berhasil mendidik lo jadi orang yang bisa bertanggung jawab. Tapi di lain sisi, you focus too much to make up for your mistake, padahal ada hal-hal yang nggak bisa lo benahi sendiri. And that's why, ngeliat lo frustrasi karena nggak bisa membenahi itu, gue juga ikut frustrasi nyaksiin lo. Itu maksud gue."

"Oh..."

Dari penjelasan Rana itu, Krama bisa bernapas agak lega. Ternyata bukan suka yang itu, bukan suka yang berarti naksir.

Namun sialnya, kenapa sekarang kepala Krama seolah ingin dirinya ditaksir? Sebab setiap kalimat Rana yang berkali-kali terlintas itu datang, bibir Krama juga berontak ikut lepas dari kontrolnya. Termasuk panas yang mendadak berkeriap ke pipi. Gejala yang dulu Krama bisa tangani dengan baik kini makin meliar, seperti debar jantungnya yang bertambah dan desir yang menggelayuti perut ketika Rana masuk ke bingkai pandangnya atau bahkan sekadar terbayang di kepala.

Lu tuh dah gila, Kram! Memangnya boleh Krama jadi segugup dan sebodoh ini layaknya remaja-remaja yang tengah kasmaran di sinetron-sinetron itu? Berkelas dikit napa, elah!

"Bang Yo, terima part time, nggak?" Memutus rantai pikiran yang masih mengekorinya hingga ke bengkel, Krama membuka percakapan selagi menyapu lantai.

"Part time apaan?"

"Noh, di warung." Krama mengedik pada gerobak lapak lalapan Bang Iyo yang sudah dipindah ke muka bengkel. Lengkap dengan spanduk kain yang menghampar tegak, bengkel dalam proses disulap menjadi warung kecil.

where our hearts meetWhere stories live. Discover now