3: keresahan krama

160 31 0
                                    

⋆ ˚ • ⋆

Seharian ini Krama tidak bisa tidak terpekur apabila melihat ke meja Rana yang kosong.

"Parah lo, Kram, anaknya sampe nggak masuk gini." Baru mencapai meja Krama, Erga langsung dilempar tatapan tajam dari Yure. Mengulas cengiran, Erga menyatukan kedua telapaknya. "Ampun, Nyai." Lalu berlalu.

Krama yang melihat itu terkekeh pelan. Sayang sekali, padahal Krama sudah siap ingin mengadu perihal pulpen ke Yure kalau Erga lanjut mencari gara-gara.

"Udah sih, Yur. Lama-lama gue jadi ngerasa kayak ketempelan. Orang-orang pada kabur kalo deket-deket gue."

"Emang gue ngapain?"

Krama mendecak, lalu mengacak-acak rambut karibnya itu gemas. "Susah susaaah punya temen tsundere gini."

Krama merasa hari ini berjalan sangat lambat. Ia berkali-kali mengecek jam tangannya dan berkali-kali itu pula ia mendesah dalam hati, "Masih jam segini aje." Iya, Krama ingin cepat-cepat pulang sekolah, karena itu artinya ia bisa bertemu Rana. Memastikan bahwa gadis itu baik-baik saja. Memastikan bahwa Kirana Mahaira benar-benar masih akan masuk sekolah, duduk di mejanya, melakukan rutinitasnya seperti biasa. Sebab kalau hal itu tidak terjadi, mungkin Krama tidak akan memaafkan dirinya sendiri.

Indeed, parah sih kalo gue bikin salah satu aset negara celaka. Ini Kirana Mahaira, cuy!

Ah, pasti Yure sudah menggoreng Krama kalau tahu sekusut apa benang pikiran lelaki itu sekarang.

Namun, daripada itu, di hati yang paling dalam, khawatirnya lebih-lebih karena ia paham bagaimana rasanya ketika hal berharga miliknya direnggut tiba-tiba.

*

*

Krama mengeratkan genggamannya pada tali paperbag. Tubuh semampainya berdiri di depan pagar rumah yang masih tertutup. Meski ia berusaha meredam gugup, gerakannya yang terus-terusan mengecek isi paperbag seolah-olah takut isinya akan berkurang begitu saja tidak bisa berbohong. Begitu terdengar pintu terbuka, Krama menegapkan badan.

Seiring sosok itu mendekat dengan langkah pelan, ada jantung Krama yang mendadak semakin bekerja keras memompa darah. [Heran, ngapain sih ni jantung tiba-tiba berulah kayak gini? Perasaan kaga ada Pak Jokowi lewat dah.]

Rana yang di sekolah biasanya menjepit rambutnya ke belakang, seragamnya necis dan licin, kaos kakinya tidak pernah tinggi sebelah. Sementara, Rana yang sekarang berdiri di hadapan Krama membiarkan surainya terurai membingkai wajah. Tubuhnya dibalut sweatshirt dan celana panjang kebesaran. Kebayang nggak sih putri keraton pake swallow? Dan pemandangan yang baru Krama lihat itu sama sekali tidak mengurangi label-label yang ia sematkan pada gadis itu. Rana tetaplah Rana yang biasa Krama saksikan sehari-hari di sekolah.

"Hai."

Krama mendadak ditarik dari lamunan. "Eh, hai. Gimana keadaan—"

Detik itu baru Krama menemukan lengan kanan Rana yang dibebat perban tebal dan disangga ke leher. Kata-katanya menguap membawa hening yang bergulir sejenak.

"Seperti yang lo lihat, gue baik-baik aja," sahut Rana, paham arah pertanyaan Krama yang tidak selesai. "Eh ... lo mau masuk dulu ...."

"Eh, nggak usah." Krama mendekat ke pagar yang tingginya hanya mencapai dadanya. Mencegah Rana yang hendak membuka kunci. "Gue bentar aja kok. Oh ya, ini ... biar lo cepet baikan. Eh bisa nggak lo bawanya?"

Krama mengangsurkan paperbag ke arah Rana melewati atas pagar.

"Repot-repot banget—oh!" Rana sempat terkejut ketika beban yang ia terima tidak sesuai yang ia duga.

"Eh, nggak papa kan, Ran!?" Mata Krama membulat panik melihat Rana agak membungkuk. "Aduh, ya udah gue izin masuk deh, boleh nggak? Gue aja yang bawain ke dalem."

Krama berinisiatif membuka kunci pagar yang ternyata tidak digembok. Langkahnya lebar mendekati Rana dan mengambil alih paperbag kembali ke dalam kuasanya.

"Sorry, berat banget ya? Sorry, sorry." Usai mengucapkan itu, Krama terengah. Entah mengapa. Rasanya seperti habis berlari mengelilingi lapangan.

Sementara Rana tiba-tiba terkekeh, membuat Krama mengerut bingung, tapi di saat yang sama juga terpana. "Lo bawa jus berapa botol sih?" Rana menengadah dengan senyum lebar sisa dari tawanya, menatap wajah teman sekelasnya tersebut.

Ditatap seperti itu, Krama kontan berpaling ke arah lain. Menelan ludah. Tangannya yang bebas mengusap tengkuk. "Em ... emang agak banyak sih ..." Jarinya menggaruk belakang telinga. "Soalnya gue nggak tau lo suka jus apa."

Rana terkekeh. Dan Krama menangkap sepintas lengkung itu. Beruntung selanjutnya Rana berbalik, lalu berkata, "Masuk dulu, Kram," sehingga Krama tidak perlu menyembunyikan kurva yang turut menular ke bibirnya.

"Makasih ya, nutrisi gue bakal terjamin seminggu ke depan gara-gara lo," ucap Rana setelah mereka duduk di ruang tamu.

Krama mengangguk. Anytime, gumamnya. Perhatiannya kembali berpusat ke tangan kanan Rana. Gadis itu menyadarinya karena ia segera menutupi dengan tangan satunya, meski sebenarnya sia-sia.

"Seberapa parah, Ran?"

"Nggak separah yang lo bayangin, kok. Sekitar 4-8 mingguan, tangan gue bakal balik lagi ke kondisi awal."

Krama menghela napas, menunduk. "Lama juga ya..." Lalu ia mengangkat wajahnya, menatap lurus ke netra Rana yang tenang. "Sorry ya, Ran, gara-gara gue lo jadi gini. Pasti susah juga buat lo ngapa-ngapain."

"Lo mau minta maaf berapa kali sih, Krama?" Rana tersenyum lagi, seolah berusaha menenangkan kalut dan mengusir rasa bersalah dalam diri lelaki itu. "Ini salah gue juga lagi, karena nggak lebih hati-hati. Posisi gue jatoh yang nggak tepat. Emang lagi apes aja."

"Tapi tetep aja kalo gue nggak—"

"It's ok," sergah Rana, menekan tiap silabel dari kalimatnya.

"Lo ... bakal masuk kapan?"

"Ngg ... sebenernya gue mau secepatnya sih, tapi nyokap yang bawel. Jadi, mungkin minggu depan? Bisa lebih cepet kalo gue berhasil ngebujuk nyokap. Gue yakin sih dia juga nggak mau gue ketinggalan banyak materi."

"Oh iya ...." Wajah Krama kembali dirundung mendung.

Baru terpikirkan olehnya bahwa mereka sudah kelas 12. Mungkin, bagi Krama hal itu bukan hal yang besar. Tapi bagi Rana, yang selalu berusaha mencapai yang terbaik, pasti cedera tangannya akan menjadi hambatan yang signifikan. Krama mungkin tidak terlalu memikirkan nilai dan sebagainya, tapi Rana mungkin menggantungkan mimpinya di angka-angka itu. Ditambah, 4-8 minggu itu waktu yang cukup lama.

"Ah, anying," desis Krama tanpa sadar, tentu ditujukan pada dirinya sendiri.

Sesi menjenguk kemudian berakhir, menyisakan pergulatan batin dalam diri Krama yang tidak turut selesai hingga hari usai, pun sampai esoknya. Sesal, frustrasi. Dua emosi itu akrab memeluknya seperti benalu. Krama merasa harus melakukan sesuatu, apapun itu, yang jelas lebih dari menjenguk dan membawakan selusin botol jus beraneka rasa untuk Rana. Tapi, apa?

୨୧ ⋆ 。˚ ✧ ⋆

yogyakarta, 6 april 2023.

where our hearts meetWhere stories live. Discover now