18: kegagalan terbesar

62 12 0
                                    

✎ ⋆ ˚ • ⋆

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

⋆ ˚ • ⋆

Gagal.

Sedari kecil, Krama tumbuh tanpa banyak menerima amarah kalau menyangkut kegagalan. Berada di ranking zona bawah, pulang lomba tanpa memboyong piala, merusak sepeda akibat tersuruk masuk ke selokan. Paling-paling, reaksi yang Krama dapatkan pertama kali adalah hela napas panjang diikuti menyebut namanya seolah orangtuanya sedang berdoa, "Ya Allah, Krama Baatara...," kurang lebih begitu bunyinya. Pun selanjutnya, tertuang petuah-petuah yang tidak pernah membuat Krama merasa kecil karena telah gagal:

"Nilai tinggi emang belum pasti kamu punya karakter yang baik, Bang. Tapi tiap karakter yang baik itu pasti mengusahakan untuk bertanggung jawab atas dirinya dan kewajibannya,"

atau,

"Nggak papalah kalah, Bang. Kita tuh masing-masing punya jatah gagal. Sikat semua ajalah!"

atau,

"Papa nggak marah kamu rusakin sepedanya, Bang, kan sepedanya udah punya kamu. Tapi kalo kamu minta beliin sepeda baru, atau minta uang buat benerin sepedanya, itu udah lain hal. Papa nggak mau kasih cuma-cuma kalo barang yang Papa kasih ternyata nggak kamu jaga baik-baik."

Dari situ Krama jadi terlatih santai menghadapi kegagalan. Kecuali, ada satu kegagalan yang akhirnya mengundang murka dan membuat Krama selalu was-was.

Saat itu, Krama yang masih di bangku SD hobi mengendarai sepeda bersama gengnya ke kelokan-kelokan yang jauh, berlagak kelompok petualang. Mengejar kereta api yang lewat di kampung sebelah, menelusuri satu kampung ke kampung lain. Suatu ketika Dara yang belum genap 2 tahun merengek ingin ikut. Papa dan Mama sedang tidak di rumah. Tak mau ketinggalan petualangan hari itu, Krama pun mengikat Dara ke punggungnya dengan selendang dan memboncengnya. Segalanya berjalan baik-baik saja hingga hujan lebat mengguyur kawanan bersepeda itu. Mereka pun berteduh di suatu poskamling, menunggu hujan yang tak kunjung reda. Hari berangsur gelap. Takut dimarahi, Krama pun nekat pulang, membawa dirinya dan Dara berkuyup-kuyup. Suara gelak Dara di punggungnya mampu mengusir sedikit cemas di benak Krama.

"Abang, Abang, besok gini lagi ya! Waaaaa!"

"Dar, jangan banyak gerak! Nanti kita jatoh. Males ah ntar kamu nangis."

Setibanya di rumah, raut khawatir orangtuanya menyambut di teras. Berikutnya, yang Krama pelajari adalah ia gagal menjadi abang yang baik karena besoknya Dara demam hingga perlu dibawa ke rumah sakit, sedangkan dirinya cuma terkena flu ringan.

"Abang mikir apaan sih? Bisa-bisanya ujan sederes itu diterabas? Untung kalian sampe rumah, kalau di jalan kenapa-napa gimana, Bang? Sedih hati Mama bayanginnya."

Krama hanya diam, menatap kuku-kuku kakinya yang kotor, belum dipotong.

"Abang," Suara berat Papa seperti menghantam perutnya, "nggak usah main sepeda lagi."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 22 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

where our hearts meetWhere stories live. Discover now