14: berdua utuh

125 15 6
                                    

✎ ⋆ ˚ • ⋆

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

⋆ ˚ • ⋆

Rumah itu terletak di sebuah gang yang tak seberapa lebar, tapi cukup diisi dua mobil yang berpapasan. Pagarnya putih susu setinggi dada orang dewasa, disambung halaman yang muat diparkir satu mobil dan menyisakan ruang memadai untuk bergerak. Dilihat sekilas maupun diamati betul-betul, bangunan itu tampak sudah tua tapi masih dirawat baik. Arsitekturnya khas rumah zaman dulu yang plafonnya rendah.

Rumah yang hampir sepuluh tahun ini menaungi sepasang ibu anak; yang mungil tapi masih leluasa buat mereka berdua hidup di dalamnya.

Kalau tiap rumah punya album foto yang sesak oleh wajah-wajah berbeda, tumpukan buku yang lesak di salah satu lemari rumah itu hanya menampakkan Amerta Salwa dan anak perempuannya, Kirana Mahaira.

Amerta berhasil pindah ke rumah tersebut—yang jauh lebih lega dan layak dari yang sebelumnya—pasca insiden yang melibatkan Rana kecil. Suatu hari, Rana pernah pulang dengan seragam berantakan dan tubuh yang lecet di beberapa bagian. Setelah dipanggil ke sekolah, baru Amerta tahu bahwa kejadian itu adalah puncak kesabaran Rana atas olokan yang ia terima sehari-hari. Anak haram, kata teman-temannya. Amerta memutuskan untuk langsung pindah begitu tahu bahwa hal buruk itu berasal dari seseorang yang pernah satu kampus dengannya dulu.

"Rana, kata Bu Guru, kamu yang duluan ngedorong teman kamu?"

"Iya."

"Rana, liat Mama, Nak. Bener begitu? Mama cuma akan percaya sama kamu."

"Bener. Aku yang mulai duluan."

"Kamu lupa yang Mama ajarin? Nggak ada kekerasan selama bisa dibicarakan baik-baik."

"Mama nggak ada di sana."

"Apa?"

"Mama nggak ada di sana waktu mereka panggil aku anak haram. Mama nggak lihat waktu mereka ketawa karena aku nggak punya Papa. Mereka bilang aku bawa sial, aku anak yang nggak diinginkan."

Amerta tercekat saat itu, melihat raut datar Rana bahkan sampai gadis kecil itu selesai bicara. Nyeri menyerang hatinya; apa yang ia takutkan dulu terwujud di depan mata. "Kamu bukan apa yang mereka bilang, Rana. Jangan biarin mereka menilai siapa kamu. Kamu anak Mama. Paham?"

*

Mama mendidik Rana dengan tegas dan penuh karisma. Tapi di saat yang sama, Rana juga melihat kerapuhan yang dijaga baik-baik di balik itu semua. Kerapuhan yang menjadi muasal rasa takut dan sikap protektif Mama terhadapnya—kotak pandora yang akhirnya dibuka setelah laki-laki asing itu datang ke rumah.

"Dia laki-laki yang pernah Mama sayang dulunya. Yang seharusnya jadi ayah kamu, tapi dia sendiri yang membuang kesempatan itu. Waktu itu, Mama masih terlalu muda ... apa yang Mama pikirkan masa itu sebatas kebahagiaan sesaat. Mama telanjur tersesat. Laki-laki itu sebenarnya baik, tapi waktu itu dia punya hal yang lebih penting untuk dijaga dan dikejar. Pada akhirnya, nggak semua laki-laki bisa bertanggung jawab. Itu yang nggak bisa Mama maafkan."

where our hearts meetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang