1. Misery

27.2K 1.2K 13
                                    

•••

Gavi

Beberapa tahun yang lalu.

"Woy, turun!" teriak seseorang.

Aku memukul setir mobilku lumayan keras. Sial, sial, sial aku menabrak sebuah motor. Karena banyak warga yang terus mengetuk-ngetuk kaca mobilku, akhirnya aku memutuskan untuk turun.

"Tanggung jawab kamu! Bapak itu sama anaknya pingsan."

Aku hanya bisa menunduk sambil meringis. Beberapa orang menarik kerah bajuku untuk mendekat ke korban tabrakan. Luka dari bapak-bapak yang mengendarai motor sepertinya cukup parah. Bisa kulihat darah mengalir deras dari kepalanya. Itu berbanding terbalik dengan seorang gadis yang diboncenginya. Sepertinya tidak ada luka apapun.

Gawat, jika bapak itu mati, aku bisa diusir papa.

"Bawa ke rumah sakit cepet! Masih muda udah nabrak orang aja." Salah satu warga berteriak marah didekat telingaku. Ouh, damn!

Akhirnya dengan perasaan cemas sekaligus takut, aku membawa para korban ke rumah sakit menggunakan mobilku yang sialnya lagi, penyok. Tiga orang warga sekitar ikut menemani. Mungkin mereka kira aku akan kabur begitu saja. Cih, aku bukan seorang pengecut.

Sesampainya di rumah sakit terdekat, bapak dan gadis yang kutabrak segera ditangani dokter. Aku hanya bisa berharap semoga lukanya tidak parah-parah amat. Sekarang yang terpenting, jangan sampai papa tahu mengenai kejadian ini.

"Telepon orang tua kamu, biar mereka tahu kelakuan anaknya! Makanya, lain kali kalau bawa mobil jangan mabuk!" ujar bapak-bapak berbaju hijau sok tahu.

Gigiku bergemelatuk marah. Ada masalah apa sih mereka? Aku bahkan tidak minum alkohol satu gelas pun. Bisa-bisanya mereka menuduhku seperti itu?

"Jangan sembarangan, Pak. Saya nggak mabuk!" jawabku sedikit ketus.

"Alah, masih ngeles aja."

Aku lantas membuang muka kesal. Memang kuakui kecelakaan itu murni kesalahanku, tapi bukan karena mabuk. Tadi itu aku sangat mengantuk hingga tidak menyadari adanya motor dari arah berlawanan.

Sekitar 15 menit, gadis yang tadi kutabrak sudah sadar. Dokter bilang dia hanya menderita luka kecil. Syukurlah setidaknya tanggungan bebanku berkurang. Akan menyusahkan jika keduanya tidak selamat bukan?

"Minta maaf sana!"

Aku mengacak-acak rambut belakangku seraya mendekat pada gadis yang kini tengah berbaring diranjang rumah sakit. "Sorry."

"Apa Papa saya baik-baik aja?" Suaranya masih lemah tapi dia justru menanyakan keadaan ayahnya.

"Alhamdulillah masih selamat, Mbak. Ya, meskipun lukanya lumayan parah," ungkap warga yang tadi menyuruhku meminta maaf.

Mata gadis yang aku tabrak berkaca-kaca. "Saya... saya mau lihat Papa saya. Tolong."

Karena sudah memohon seperti itu, akhirnya warga desa tak tega dan mengantarkannya ke ruangan sang ayah. Untungnya dokter memperbolehkan.

Begitu masuk ke ruangan ayahnya, gadis itu menangis. Dia terlihat sangat takut kehilangan pria tua tersebut. Aku jadi sedikit iba. Apalagi, ayah gadis itu terlihat lemah bukan main. Tidak ada tanda-tanda yang menunjukan beliau akan segera pulih. Astaga, bagaimana kalau bapak itu sekarat?

"Papa, ini Shiren." Gadis itu menyebutkan namanya. Dia lantas kembali menangis karena ayahnya tidak menunjukan pergerakan apapun.

"Sabar, Mbak. Semoga besok Papanya Mbak bisa sadar. Sekarang, kita bicarakan dulu masalah kecelakaan ini." Bapak berbaju hijau kembali menatapku tajam. Aku benci itu.

The Lost EarthWhere stories live. Discover now