EPILOG

19.8K 1.1K 34
                                    

•••

Shiren

Empat tahun berselang...

Jika aku bisa mendeskripsikan bagaimana gambaran kebahagiaan yang sederhana itu, mungkin aku akan menggambarkan pemandangan yang kulihat saat ini.

"Mama!"

Aku tersenyum. Dunia sudah sangat cepat berputar hingga aku tak menyadari kalau Bumi sudah sebesar itu. Kini dia sudah pandai berlari, pandai bicara, dan semakin pandai makan tentu saja. Lihatlah, betapa besarnya dia sekarang. Putraku yang dulu hilang, kini sudah bisa menjemputku di tempat kursus. Padahal dulu dia sering kugendong kemari.

Bum memeluk pahaku erat. Aku terkekeh ringan. "Papa mana?"

"Ituuu." Telunjuk gembulnya menunjuk sebuah mobil yang terparkir tak jauh dari latar kursusku.

"Eh, ini Bum, ya?" Karina, rekan kerjaku yang dulu, turut menyapa Bum. "Ya ampun, udah gede aja sekarang. Padahal dulu sering digendong."

"Bum, ayo salim dulu sama Tante Karina," perintahku.

Bum menurut, dia juga meringis kala Karina mencubit pipinya gemas. "Gemes banget, sih. Kelas berapa kamu?"

"Aku naik kelas dua, Tante." Bum mengatakannya dengan nada pamer. Jari tangannya yang membentuk angka dua diangkat tinggi-tinggi. Aku sontak merotasikan bola mataku.

"Wiiih, pinternya!"

Aku pun akhirnya berpamitan dengan Karina. Hari ini adalah hari yang melelahkan. Kursusku semakin hari semakin ramai. Aku bersyukur karena masih terus diizinkan bekerja di sana oleh Gavi usai menikah. Dia bilang aku bebas melakukan apapun yang kumau.

Hari ini juga adalah hari yang istimewa untuk Bumi. Ini adalah hari pertamanya masuk kelas dua. Bum sangat antusias dalam bersekolah. Dulu saat TK dan kelas satu Bum juga begitu.

Ketika malam tiba, aku kembali menemani Bum tidur. Sebelum membacakannya cerita dongeng, biasanya Bum akan bercerita mengenai kesehariannya di sekolah. Sungguh, aku tidak habis pikir, cerita Bum tentang masa sekolahnya seolah tidak pernah habis.

"Tadi gurunya aku banyak, Ma. Ada yang udah tua. Terus ada kakak-kakak juga pake jaket. Kakaknya baik banget sama aku."

Maksud Bum mungkin adalah sekelompok mahasiswa yang tengah menjalani tugas kampus. Aku juga melihat mereka saat mengantar Bum tadi pagi.

"Oh, ya?"

"Tadi kan tebak-tebakan ya, Ma, aku maju paling pertama lho. Tapi kata Kakaknya jawaban aku salah. Terus aku nangis."

"Eh, kenapa nangis? Bum kan udah berani maju, itu udah bagus lho. Jawaban salah itu wajar. Bum nggak usah takut salah." Pelan-pelan kuusap rambut tipis Bum.

"Tapi, jawaban aku udah bener kok, Ma. Kata Mama bahasa inggrisnya angka satu itu One, kan?" Bum melipat bibirnya. "Masa katanya aku salah, sih."

Alisku mengerut begitu saja. "Kok bisa, sih?"

"Iya, Ma. Padahal aku udah tulis "Wan" di papan tulis tapi tetep aja disalahin. Yang bener katanya malah "One". Kan salah ya, Ma?"

Detik berikutnya aku tertawa. Astaga, anak ini ada-ada saja tingkahnya. "Bum, Kakaknya udah bener kok. Yang bener itu ditulis "One" tapi bacanya "Wan"."

"Hah? Emang gitu, Ma?" Bum melongo lebar-lebar. Aku pun menutup mulutnya.

"Iya, Sayang. Besok Mama ajarin kamu cara nulisnya, deh. Biar nggak salah lagi."

Bum berjingkrak kegirangan. Lantas aku pun menyuruhnya untuk berbaring di kasur dan bersiap mendengarkan dongeng. Anak itu segera melaksanakan perintahku.

The Lost EarthWhere stories live. Discover now