12. Knick-Knack

17.8K 1K 15
                                    

•••

Gavi

"Gav..." Mata Shiren berkaca-kaca setelah mendengar ucapanku.

Aku menghela napas lelah. Berkat mama kini aku jadi marah-marah pada Shiren. Mataku memejam untuk meredakan emosi. Diusia yang sudah matang ini aku harus tenang. Semestinya aku tidak memarahi Shiren begitu. Dia sudah cukup ketakutan melihat mama tadi.

"Maaf, aku cuma ngomong hal yang sebenarnya. Aku rasa dulu-"

"Ak-aku mau pulang." Kini Shiren menghindari tatapanku. Dia melepaskan tanganku yang sebelumnya bertengger di pipinya. Keputusan wanita itu terdengar mutlak. Sepertinya akan sia-sia saja jika aku memintanya untuk stay beberapa jam di sini.

"Aku anterin." Sebelum Shiren sempat menolak, aku bergegas mengambil jaket di sofa. Setelahnya, aku memeriksa ponsel sebentar. Ternyata benar dugaanku, cuaca sedang mendung dan sebentar lagi akan turun hujan.

"Ayo," ajakku. Shiren yang sedang melamun akhirnya ikut beranjak mengikutiku sampai ke basement. Penampilannya terlihat menyedihkan. Aku jadi bertanya-tanya, apakah setelah dia bertemu denganku, keadaannya menjadi tambah sulit?

"Maaf, aku anter pake motor, ya?" Aku menoleh pada Shiren yang tengah tertunduk lesu. Wanita itu hanya mengangguk saja.

Sepanjang perjalanan, kami diam saja. Aku tidak berani memulai pembicaraan, begitu juga dengan Shiren. Dia menolak ketika aku minta untuk berpegangan pada pinggangku. Jadilah kini aku lebih berhati-hati dalam berkendara. Sebenarnya aku juga sudah lama tidak mengendarai motor. Aku pun punya alasan memilih kendaraan roda dua ini ketimbang mobil.

Beruntungnya, kami sampai dengan selamat. Hujan juga belum turun. Aku tersenyum miring menyadarinya. "Aku agak haus," ujarku.

Shiren menatapku sedikit lama sebelum dia mempersilakan aku masuk ke rumahnya. Sama seperti saat pertama kali aku ke rumah itu, suasananya sepi dan hening. Yang berbeda hanya rumah itu sudah cukup rapi. Agaknya Shiren sudah membenahinya.

"Sebentar, aku buatin minum dulu." Shiren berlalu ke dapurnya. Sementara aku melihat-lihat beberapa potret Bum yang ada di dinding. Bumi sangat imut. Matanya sipit, giginya tidak lengkap, dan rambutnya tipis. Aku juga ingin sekali menggigit pipi tembemnya itu. Jika kami bertemu, mungkin aku tidak sanggup untuk memegang apalagi menggigit tubuhnya karena gemas.

Hanya dengan melihat potretnya saja, aku sudah tersenyum seperti ini. Bagaimana jika aku bertemu dengan anak itu secara langsung? Shit, belum apa-apa aku sudah merindukannya.

Suara cangkir yang beradu membuatku menoleh ke meja. Ternyata Shiren tengah meletakkan teh untukku. Aku pun berdeham lalu meminumnya sedikit. "Makasih."

Shiren mengangguk. Tangannya kemudian menyatu. Wanita itu tampak lesu. Matanya juga sembab. Pasti dia tidak bisa berhenti memikirkan kejadian tadi.

"Habis ini istirahat." Aku baru sadar kalau beberapa jam ini aku banyak bicara. Terlebih didepan mantan istriku.

"Sejak Bum ilang, aku nggak bisa tidur nyenyak." Shiren mendesah lelah. "Ke kursus juga rasanya berat banget."

"Kalau kamu sakit, kamu nggak bisa cari Bum." Wanita ini memang tidak peduli pada dirinya sendiri. Bagaimana bisa selama ini dia tidak tidur nyenyak? Dibutuhkan tenaga serta mental yang besar untuk melalui serangkaian kejadian yang terjadi belakangan.

"Iya, aku tahu." Bibir Shiren sedikit maju. "Kamu cepet habisin tehnya. Sebentar lagi hujan, nanti kamu kehujanan."

Terlambat. Tepat setelah mengatakan itu, hujan perlahan turun. Hujan yang cukup lebat. Diam-diam aku menyembunyikan senyum. "Kamu tega suruh aku pulang hujan-hujanan?"

The Lost EarthWhere stories live. Discover now