11. Kick Up a Row

17.9K 1.2K 4
                                    

•••

Shiren

Begitu tiba dilokasi penemuan mayat yang polisi katakan, aku mendapati orang-orang berkerumun ingin melihat mayat bayi yang baru ditemukan. Perasaanku semakin bergejolak sampai-sampai untuk berjalan saja, aku memerlukan bantuan Mbak Alya.

Saat pertama kali polisi mengabari, jantungku seperti berhenti didetik itu juga. Rasanya aku tidak punya lagi kekuatan. Wajahku pias hingga sempat jatuh pingsan. Sampai ketika sadar, Mbak Alya memaksaku untuk memberitahu Gavi.

Semakin mendekat, aku melihat Gavi yang wajahnya terlihat pucat pasi. Dia tengah berbicara dengan polisi lalu ketika lelaki itu melihatku, dia tidak bisa mengatakan apa-apa. Ketakutanku semakin menjadi. Aku seperti memohon padanya untuk tidak mengatakan hal-hal yang sangat tidak ingin aku dengar.

"Pak, gimana?" Mbak Alya mewakiliku. "Itu beneran... Bum?"

"Masih belum yakin, Bu. Mayat ini sepertinya sudah lama hanyut," ucap sang polisi. Seberapa lama mayat itu telah hanyut, sepertinya masih belum bisa dipastikan.

Aku memberanikan diri mendekat pada Gavi. Kupegang kemejanya untuk menarik atensi pria itu. "Gav?"

Saat matanya menatapku, aku merasakan tatapan sedih terpancar darinya. Sebenarnya aku tahu maksud tatapan itu, tapi aku tetap yakin bahwa mayat yang berada di kantong jenazah itu bukanlah anakku. Bum will live on until I'm gone.

Berkali-kali aku berdoa agar Tuhan mau sedikit mengasihaniku. Cobaanku terlalu berat. Di dunia ini, tidak ada seorang ibu yang sanggup berpisah dengan putranya lewat cara seperti ini.

"Maaf, Mbak." Polisi itu tampak bimbang. "Ada kemungkinan dia anak Mbak. Usianya juga sekitar empat sampai lima tahunan. Sebaiknya Mbak bisa cek sendiri."

Spontan, aku menutup mulutku. Tidak, aku tidak sanggup melihat mayat itu bila dia benar Bum. Hatiku sakit. Ternyata benar, orang bilang kehilangan anak jauh lebih menyakitkan ketimbang kehilangan orang tua.

Pertahanan diriku runtuh. Beruntung, Gavi sigap memegang tanganku kemudian pelan-pelan membawaku menuju kantong jenazah itu. Aku terus meronta padanya sambil terisak, tapi Gavi tetap membawaku mendekat.

"Gav, aku nggak bisa," pintaku lirih. "Aku nggak mau liat, itu pasti bukan Bum. Gav, aku mohon."

Melihatku akan berontak, Gavi lantas melingkarkan tangannya disepanjang punggungku. Dia mendekapku erat tanpa mengatakan apapun. Aku tidak tahu apa yang dia rasakan saat ini. Entah dia juga sedih atau mungkin biasa saja mendengar berita ini.

"Buka, Pak," titah Gavi pada sang polisi sambil mengeratkan pegangannya padaku.

Aku terus menggeleng. Pelan-pelan kantong jenazah itu terbuka, menampakkan lengan kecil yang sudah tampak mendingin. Saat setengah dibuka, aku terkejut melihat wajah anak itu yang sudah tak berbentuk. Sangat mengerikan sampai-sampai aku menjerit ketakutan.

Namun, Gavi tak goyah sedikit pun. Dia tetap ingin membuka kantong jenazah itu secara keseluruhan. Benar saja, setelah dibuka seluruhnya, aku bisa melihat pakaian yang dia kenakan berbeda dari milik Bum. Mayat itu juga memiliki tanda lahir kecil dibagian leher yang mana Bum tidak memilikinya.

"Gav," seruku cepat-cepat. "Bukan, itu bukan Bum! Bum masih hidup." Aku beralih pada pak polisi. "Saya yakin itu bukan anak saya, Pak. Mayat itu bukan Bumi. Berarti anak saya masih hidup, Pak."

Satu yang menggambarkan perasaanku saat ini adalah lega. Lega sekali mengetahui dia bukan anakku. Tuhan masih mau berbaik hati padaku rupanya. Dalam hati, aku tak henti-hentinya mengucap syukur.

Tangisanku berganti tangis bahagia. Disaat bersamaan, Gavi membawaku dalam pelukannya. Kurasa dia pun merasakan hal yang sama dengan yang aku rasakan.

•••

The Lost EarthWhere stories live. Discover now