6. Hearty

17.1K 1.1K 5
                                    

•••

Shiren

4 Tahun Kemudian

"The wheels on the bus go round and round. Round and-"

Aku menekan tombol pause pada layar ponsel yang sedari tadi menyala. Gawat, Bum tidak bisa makan dengan tenang kalau begini. Dia sangat aktif dengan baju kodoknya. Sehabis bermain disekitar rumah, Bum masih belum kehabisan energi.

"Bum, listen to Mama." Tanganku menahan tubuh gempalnya. "Bum kalo mau main lagi harus makan dulu supaya tenaganya ke isi lagi."

"Mama! Mama!" Bocah itu berteriak keras lalu kembali melompat-lompat dengan satu kaki. "Ompat!"

"No, no, no. Hati-hati loh, nanti kalo jatuh dibawa mobil ambulans. Yang bunyinya, nguwing-nguwing."

Ucapanku membuahkan hasil, dia berhenti dan memandangku bingung. "Bing! Bing!"

Aku memasang wajah kasihan guna meyakinkannya. Bumi atau yang biasa aku panggil Bum kini sudah beranjak dewasa. Dia hampir berusia 5 tahun. Sebenarnya ada beberapa hal yang aku khawatirkan termasuk caranya bicara yang masih belum jelas. Aku takut ada sesuatu yang salah dengan perkembangannya. Seperti speech delay atau masalah yang lain.

Selama 4 tahun, aku bekerja keras agar bocah ini tetap dapat makan dengan enak dan kebutuhannya selalu tercukupi. Namun aku juga manusia biasa, tidak semua yang dia inginkan bisa kuwujudkan dengan cepat. Untungnya Bum anak penurut.

Tahun depan dia akan masuk TK, hal itu semacam beban yang selalu aku pikirkan beberapa hari ini. Pasalnya aku masih bekerja dikursus dengan gaji yang tak besar. Aku takut Bum tidak bisa bersekolah dengan baik karena masalah biaya.

Mengenai ayahnya, Bum belum bertanya apapun. Mungkin dia akan bertanya ketika memasuki sekolah dasar. Selama itu, aku akan mencoba membuat alasan yang logis bagi anak seusianya kalau-kalau Bum bertanya kenapa dia tak memiliki ayah.

Beruntungnya, aku memiliki Mbak Alya dan Hani. Aku lega sekali jika Mbak Alya dan Hani membantuku menjaga Bum saat aku sakit atau banyak pekerjaan. Mereka sudah kuanggap seperti keluarga sendiri.

"BumBum! Mbak punya bola, nih. Tadi nemu di jalan." Hani datang dengan semangatnya sambil membawa bola berwarna merah dan putih. "Ayo, main."

Bum langsung berlari menuju Hani dan meminta bola dari tangan sang gadis. Mereka sudah menjadi sahabat dekat sedari kecil. "Wah, wah."

"Bum makan dulu, ya. Mainnya nanti," ujarku memberitahu. Aku kembali mengarahkan sendok berisi nasi dengan lauk tahu bakso yang kemudian bocah itu tepis kuat-kuat.

Tak lama, mereka berdua sudah menghilang dari pandanganku begitu saja. Kuhela napas perlahan. Menjaga Bum bukanlah perkara mudah, apalagi ketika dia rewel. Aku tahu pada usia ini Bum sedang aktif-aktifnya. Untuk itu sebisa mungkin aku akan meluangkan banyak waktu untuk Bum.

Lego dan mainan truk yang lain masih tergeletak di lantai. Segera aku menatanya kembali pada box mainan milik Bum. Setelahnya, aku mulai makan makanan yang seharusnya untuk Bum sambil memeriksa ponselku.

"Mamaaa!" Aku terkesiap ketika Bum datang dengan terbirit-birit. Wajahnya memerah ditambah keringatnya yang bercucuran. Dia membawa selebaran yang entah dari mana datangnya.

"Bum, kenapa? Bawa apa ini?" Putraku itu tidak menjawab. Dia hanya melompat-lompat sambil menunjukan selebaran bergambar suasana pasar malam. Bum memang belum sefasih anak lain dalam berbicara. Jadi kadang aku juga tidak tahu apa yang dia bicarakan. "Bum habis dari mana?"

Dari arah luar, Hani berlari masuk ke dalam rumahku. Gadis itu langsung duduk di lantai seolah baru saja dikejar seseorang. "Han, Bum kenapa? Ini dapet selebaran dari mana?" tanyaku memperjelas.

The Lost EarthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang